Cerpen
April 16, 2020
Cerpen : Di Barisan Depan Demonstran
Sumber gambar : Tirto.id
Oleh : Budi Setiyarso
(Pernah dimuat di Harian Joglosemar, 09 Mei 2010)
Aku masih sama. Berdiri di barisan depan pembatas antara harapan dan
pengekangan. Masih sama persis dua belas tahun yang lampau. Ketika kerusuhan
mei bergejolak tanpa batas menumbangkan rezim kediktatoran.
Trauma mendalam berapi-api merisaukan batin saat menjalankan amanah ini. Menjaga
batas tingkah demonstran dari luapan vandalisme
merupakan tugas suci yang kusanggul. Ku katakan suci benar, suci di dasar hati saat
melangsungkan tugas. Entah suci tidaknya muatan yang setia kubela. Aku tak mau
tahu menahu. Paling tidak aku juga tak mengetahui seberapa bijak para
demonstran menjalankan aksinya. Yang jelas tujuanku hanyalah satu, menjaga agar
tak ada kerusuhan di arena orasi itu. Hingga semua mengalir begitu damai.
Gerombolan demonstranpun menerjang berteriak mewakili suara jutaan orang
Indonesia yang mungkin sedang tak peduli. Suara kebebasan itu diekspresikan
dengan tindakan-tindakan yang agaknya meresahkan sekitar lokasi. Bau harum
terbakarnya ban menghiasi setiap tenggakan udara yang dihirup. Benar-benar tak sedap
dinikmati. Kontaminasi mata dan telinga menambah pekiknya udara perdamaian
disaat seperti itu. Semuanya kacau. Teriakan menyengat telinga seakan membuat
gendang telinga tak mau lagi menabuhnya. Pandangan tak sedap dari kabut asap pun
tak luput mencekam getir jiwa. Sedangkan aksi teatrikal yang dimainkanpun tak
pula menghibur dan mencairkan kegetiran yang terjadi.
Bagaimanapun juga inilah wujud kebebasan di Indonesia. Kebebasan yang
dirindukan manusia setelah sekian lama terpenjara.
Diantara demonstran itu, jiwaku selalu terbuai pada pandangan wajah samar-samar
dari sosok tubuh yang kukenal. Entah ada atau tidak, tapi benar-benar kurasakan
kehadirannya. Meskipun bagi yang lain tak ada dan tak dinikmatinya. Kurasakan
jiwanya berdiri diantara semangat kebebasan para demonstran. Dia bukan
provokator, tapi dialah Fajar. Kusaksikan anak pertamaku itu masih bersemangat
meneriakkan bendera kebebasan diantara pejuang kebebasan lain yang mungkin tak
sebayanya lagi.
Fajar adalah anak yang terlahir dari rahim mantan istri pertamaku. Istri
yang telah kuceraikan sembilan tahun sebelum cerita reformasi menghiasi media
masa Indonesia. Hak waris atas anak itu dimenangkan oleh mantan istriku di
depan meja hijau. Akupun tak memiliki kuasa lagi atas dirinya. Dan aku semakin
kehilangan kontak semenjak istriku mengklaim Fajar sebagai harta tunggalnya.
Ingatanku selalu melintas pada peristiwa Mei 1998. Peristiwa fenomenal
yang sebelumnya tak kusangka menjadi sehebat itu. Hingga mampu menggugurkan
rezim militan dari kursi kuasanya. Dan ingatan itu selalu sama. Terus menerus
mengiang di otak sehatku pada saat tubuhku ini dihadapkan pada ratusan
demonstran dengan ambisi kebebasannya di lain waktu.
Ingatku pada saat aku dihadapkan pada suasana saling menatap antara aku
dan Fajar dalam posisi bertentangan. Sama-sama di posisi barisan depan, namun dengan
latar tujuan yang bertubrukan. Kuingat tatap penuh amarah itu. Dengan pandangan
sinis dan semprotan suara yang menghujat. Dan tak kusangka semua itu awal dari sebuah
kehancuran. Sebuah peristiwa sederhana sebelum malapetaka menghabisi jiwa ratusan
orang yang setengah berdosa.
Entah mengapa mata Fajar menemukan tubuhku di antara pagar besi yang
menghadang pergerakan mahasiswa. Mata yang penuh dendam pribadi itu menatapku dengan
leluasa di tanah lapang demonstrasi. Dimakilah keberadaanku berkali-kali.
Agaknya bukan untuk sebuah idealisme mahasiswa yang ia perjuangkan. Tapi serumpun
dendam pribadi yang dibawanya di medan perjuangan itu. Tak lain dan tak bukan adalah
dendam membara yang mengalir dari derita ibunya di atas perceraian yang
kulontarkan. Sehingga kata talak itu berujung pada kesengsaraan, kemiskinan dan
diakhiri dengan kematian ibunya secara tragis.
“Hai kau manusia bersenjata. Aku disini bersatu bersama teman-temanku memperjuangkan
kemunduran atas rezim yang kau bela. Biarkan kami bersua. Kami adalah generasi
pembaharu bangsa dari keterpurukan yang kalian ciptakan. Kebebasan yang kami
inginkan”, teriak Fajar di depan pagar besi yang terjaga ketat.
Kurasakan Fajar tak menganggapku ayahnya lagi. Ia tampak tak mempedulikan
keberadaanku. Bahkan sekalipun tak pernah ia menyapa. Hatiku semakin hancur di atas
kata-kata yang ia terbitkan dengan penuh amarah itu.
Tak ingin ku membalas emosi itu dengan emosi serupa. Aku pun
mengikhlaskan diri menyapanya terlebih dahulu. Penuh harap ia terluluhkan.
“Fajar, anakku”
“Aku tak mengenalimu lagi. Aku tak memiliki ayah yang membiarkan
penindasan manusia atas manusia lain. Manusia pemusnah kebebasan”
“Disini aku menjalankan tugas, anakku. Bagaimanapun juga ayahmu ini
hanyalah seorang kuli yang harus setia pada tugas.”
“Setia ? Sebegitu setiakah engkau pada tugas, sementara anak istrimu kau
campakkan begitu saja ? Pecundang macam apa engkau ini ? Sementara anak dan
istrimu kau ceraikan, kau telantarkan. Tak pantas kau membela Negara, jika
membela keluargamu saja kau tak mampu”
“Jangan kau bawa masalah pribadi di medan ini anakku. Emosimu bisa saja
memancing emosi yang lain. Bisa saja itu menyulut malapetaka yang besar”,
teriakanku membalas teriaknya.
“Aku tidak peduli Pak Tua, Aku berdiri di sini atas dasar nurani. Nurani
yang haus akan kebebasan. Lebih baik mati daripada hidup dalam kekangan abadi.
Seperti yang kau lakukan pada ibu. Tega benar kau menghentikan ibu dari
pekerjaannya. Setelah ia tak punya kuasa apa-apa kau begitu saja
meninggalkannya.”
“Kau tak tahu yang sebenarnya terjadi, anakku. Biarkan aku memberi sedikit
penjelasan kepadamu. Mungkin ini saat yang pantas untukmu mendengarnya”
“Aku tak butuh penjelasanmu. Bangsat sepertimu tak layak menjadi ayahku.
Kau hanyalah seorang pecundang yang tak bertanggungjawab. Kau brengsek”
“Kau sungguh tak tahu semuanya. Dengarkan walau sebentar berlalu”
“Tak tahu apa ? Aku tahu kau seorang pecundang. Aku tahu itu. Tak perlu
kau membela diri”
“Tapi kau harus tahu nak. Bukankah kebebasan yang kau inginkan. Aku ingin
membebaskanmu dari buruk sangkamu kepadaku. Perbolehkanlah aku sejenak membela
diri di atas cacimu itu.”
“T*i”, begitu teriaknya menghinaku.
Dan kuberanikan diri mengucap sebuah kalimat rahasia yang selama ini
kupendam. Kalimat itu memacu amarahnya sehingga emosi dan tangisnya benar-benar
meledak. Darahnya pun semakin mendidih tepat di tengah-tengah kebencian itu.
Hingga kemarahannya diekspresikan dengan pengayunan kaki sekuat tenaga ke
arahku berkali-kali. Hingga akupun terjungkal.
Beberapa barisan depan roboh. Teman satu kompi yang menyaksikan
pemandangan itu begitu saja menghakimi Fajar seketika karena dianggapnya
provokator.
Dan kerusuhanpun memuncak. Sangat-sangat kacau. Sepasang mataku tak
melihat Fajar lagi. Aku tak mampu menyelamatkannya disela keramaian yang tak
berhenti sedetikpun. Tak kusangka peristiwa itu awal dari sebuah peristiwa
besar yang menjadi catatan sejarah dunia. Kerusuhan itu menjadi awal dari
peristiwa-peristiwa bringas berikutnya dan diakhiri tumbangnya penguasa Orde
Baru.
Dalam pemberitaan sehari setelah kerusuhan itu. Sebuah headline news istimewa menghiasi media massa ibu kota. Judul yang memukai keinginantahuan pembaca. “Demonstran Bentrok dengan Aparat, Empat Orang Meninggal”. Dan disanalah pertama kali aku kenali jiwa anakku telah melayang meninggalkan harapan kebebasan yang ia inginkan.
Dua belas tahun berlalu. Bayangan Fajar masih kurasakan diantara gerombolan penuntut hak itu. Gerombolan yang tak kalah banyak, namun secara nyali tak mampu menandingi. Seandainya Fajar masih bernafas, mungkin ia masih berada diantara gerombolan itu. Atau mungkin namanya sudah berbanjar di antara sederet nama orang besar di negeri ini. Namun bagaimanapun juga ini adalah takdir atas perjuangan yang ia tanamkan.
Dua belas tahun berlalu. Bayangan Fajar masih kurasakan diantara gerombolan penuntut hak itu. Gerombolan yang tak kalah banyak, namun secara nyali tak mampu menandingi. Seandainya Fajar masih bernafas, mungkin ia masih berada diantara gerombolan itu. Atau mungkin namanya sudah berbanjar di antara sederet nama orang besar di negeri ini. Namun bagaimanapun juga ini adalah takdir atas perjuangan yang ia tanamkan.