FLASHNEWS

Cerpen : Di Barisan Depan Demonstran

Sumber gambar : Tirto.id 

Oleh : Budi Setiyarso 
(Pernah dimuat di Harian Joglosemar, 09 Mei 2010) 

Aku masih sama. Berdiri di barisan depan pembatas antara harapan dan pengekangan. Masih sama persis dua belas tahun yang lampau. Ketika kerusuhan mei bergejolak tanpa batas menumbangkan rezim kediktatoran.
Trauma mendalam berapi-api merisaukan batin saat menjalankan amanah ini. Menjaga batas tingkah demonstran dari luapan vandalisme merupakan tugas suci yang kusanggul. Ku katakan suci benar, suci di dasar hati saat melangsungkan tugas. Entah suci tidaknya muatan yang setia kubela. Aku tak mau tahu menahu. Paling tidak aku juga tak mengetahui seberapa bijak para demonstran menjalankan aksinya. Yang jelas tujuanku hanyalah satu, menjaga agar tak ada kerusuhan di arena orasi itu. Hingga semua mengalir begitu damai.
Gerombolan demonstranpun menerjang berteriak mewakili suara jutaan orang Indonesia yang mungkin sedang tak peduli. Suara kebebasan itu diekspresikan dengan tindakan-tindakan yang agaknya meresahkan sekitar lokasi. Bau harum terbakarnya ban menghiasi setiap tenggakan udara yang dihirup. Benar-benar tak sedap dinikmati. Kontaminasi mata dan telinga menambah pekiknya udara perdamaian disaat seperti itu. Semuanya kacau. Teriakan menyengat telinga seakan membuat gendang telinga tak mau lagi menabuhnya. Pandangan tak sedap dari kabut asap pun tak luput mencekam getir jiwa. Sedangkan aksi teatrikal yang dimainkanpun tak pula menghibur dan mencairkan kegetiran yang terjadi.
Bagaimanapun juga inilah wujud kebebasan di Indonesia. Kebebasan yang dirindukan manusia setelah sekian lama terpenjara.
Diantara demonstran itu, jiwaku selalu terbuai pada pandangan wajah samar-samar dari sosok tubuh yang kukenal. Entah ada atau tidak, tapi benar-benar kurasakan kehadirannya. Meskipun bagi yang lain tak ada dan tak dinikmatinya. Kurasakan jiwanya berdiri diantara semangat kebebasan para demonstran. Dia bukan provokator, tapi dialah Fajar. Kusaksikan anak pertamaku itu masih bersemangat meneriakkan bendera kebebasan diantara pejuang kebebasan lain yang mungkin tak sebayanya lagi.
Fajar adalah anak yang terlahir dari rahim mantan istri pertamaku. Istri yang telah kuceraikan sembilan tahun sebelum cerita reformasi menghiasi media masa Indonesia. Hak waris atas anak itu dimenangkan oleh mantan istriku di depan meja hijau. Akupun tak memiliki kuasa lagi atas dirinya. Dan aku semakin kehilangan kontak semenjak istriku mengklaim Fajar sebagai harta tunggalnya.
Ingatanku selalu melintas pada peristiwa Mei 1998. Peristiwa fenomenal yang sebelumnya tak kusangka menjadi sehebat itu. Hingga mampu menggugurkan rezim militan dari kursi kuasanya. Dan ingatan itu selalu sama. Terus menerus mengiang di otak sehatku pada saat tubuhku ini dihadapkan pada ratusan demonstran dengan ambisi kebebasannya di lain waktu.
Ingatku pada saat aku dihadapkan pada suasana saling menatap antara aku dan Fajar dalam posisi bertentangan. Sama-sama di posisi barisan depan, namun dengan latar tujuan yang bertubrukan. Kuingat tatap penuh amarah itu. Dengan pandangan sinis dan semprotan suara yang menghujat. Dan tak kusangka semua itu awal dari sebuah kehancuran. Sebuah peristiwa sederhana sebelum malapetaka menghabisi jiwa ratusan orang yang setengah berdosa.
Entah mengapa mata Fajar menemukan tubuhku di antara pagar besi yang menghadang pergerakan mahasiswa. Mata yang penuh dendam pribadi itu menatapku dengan leluasa di tanah lapang demonstrasi. Dimakilah keberadaanku berkali-kali. Agaknya bukan untuk sebuah idealisme mahasiswa yang ia perjuangkan. Tapi serumpun dendam pribadi yang dibawanya di medan perjuangan itu. Tak lain dan tak bukan adalah dendam membara yang mengalir dari derita ibunya di atas perceraian yang kulontarkan. Sehingga kata talak itu berujung pada kesengsaraan, kemiskinan dan diakhiri dengan kematian ibunya secara tragis.
“Hai kau manusia bersenjata. Aku disini bersatu bersama teman-temanku memperjuangkan kemunduran atas rezim yang kau bela. Biarkan kami bersua. Kami adalah generasi pembaharu bangsa dari keterpurukan yang kalian ciptakan. Kebebasan yang kami inginkan”, teriak Fajar di depan pagar besi yang terjaga ketat.
Kurasakan Fajar tak menganggapku ayahnya lagi. Ia tampak tak mempedulikan keberadaanku. Bahkan sekalipun tak pernah ia menyapa. Hatiku semakin hancur di atas kata-kata yang ia terbitkan dengan penuh amarah itu.
Tak ingin ku membalas emosi itu dengan emosi serupa. Aku pun mengikhlaskan diri menyapanya terlebih dahulu. Penuh harap ia terluluhkan.
“Fajar, anakku”
“Aku tak mengenalimu lagi. Aku tak memiliki ayah yang membiarkan penindasan manusia atas manusia lain. Manusia pemusnah kebebasan”
“Disini aku menjalankan tugas, anakku. Bagaimanapun juga ayahmu ini hanyalah seorang kuli yang harus setia pada tugas.”
“Setia ? Sebegitu setiakah engkau pada tugas, sementara anak istrimu kau campakkan begitu saja ? Pecundang macam apa engkau ini ? Sementara anak dan istrimu kau ceraikan, kau telantarkan. Tak pantas kau membela Negara, jika membela keluargamu saja kau tak mampu”
“Jangan kau bawa masalah pribadi di medan ini anakku. Emosimu bisa saja memancing emosi yang lain. Bisa saja itu menyulut malapetaka yang besar”, teriakanku membalas teriaknya.
“Aku tidak peduli Pak Tua, Aku berdiri di sini atas dasar nurani. Nurani yang haus akan kebebasan. Lebih baik mati daripada hidup dalam kekangan abadi. Seperti yang kau lakukan pada ibu. Tega benar kau menghentikan ibu dari pekerjaannya. Setelah ia tak punya kuasa apa-apa kau begitu saja meninggalkannya.”
“Kau tak tahu yang sebenarnya terjadi, anakku. Biarkan aku memberi sedikit penjelasan kepadamu. Mungkin ini saat yang pantas untukmu mendengarnya”
“Aku tak butuh penjelasanmu. Bangsat sepertimu tak layak menjadi ayahku. Kau hanyalah seorang pecundang yang tak bertanggungjawab. Kau brengsek”
“Kau sungguh tak tahu semuanya. Dengarkan walau sebentar berlalu”
“Tak tahu apa ? Aku tahu kau seorang pecundang. Aku tahu itu. Tak perlu kau membela diri”
“Tapi kau harus tahu nak. Bukankah kebebasan yang kau inginkan. Aku ingin membebaskanmu dari buruk sangkamu kepadaku. Perbolehkanlah aku sejenak membela diri di atas cacimu itu.”
“T*i”, begitu teriaknya menghinaku.
Dan kuberanikan diri mengucap sebuah kalimat rahasia yang selama ini kupendam. Kalimat itu memacu amarahnya sehingga emosi dan tangisnya benar-benar meledak. Darahnya pun semakin mendidih tepat di tengah-tengah kebencian itu. Hingga kemarahannya diekspresikan dengan pengayunan kaki sekuat tenaga ke arahku berkali-kali. Hingga akupun terjungkal.
Beberapa barisan depan roboh. Teman satu kompi yang menyaksikan pemandangan itu begitu saja menghakimi Fajar seketika karena dianggapnya provokator.
Dan kerusuhanpun memuncak. Sangat-sangat kacau. Sepasang mataku tak melihat Fajar lagi. Aku tak mampu menyelamatkannya disela keramaian yang tak berhenti sedetikpun. Tak kusangka peristiwa itu awal dari sebuah peristiwa besar yang menjadi catatan sejarah dunia. Kerusuhan itu menjadi awal dari peristiwa-peristiwa bringas berikutnya dan diakhiri tumbangnya penguasa Orde Baru.
Dalam pemberitaan sehari setelah kerusuhan itu. Sebuah headline news istimewa menghiasi media massa ibu kota. Judul yang memukai keinginantahuan pembaca. “Demonstran Bentrok dengan Aparat, Empat Orang Meninggal”. Dan disanalah pertama kali aku kenali jiwa anakku telah melayang meninggalkan harapan kebebasan yang ia inginkan.

Dua belas tahun berlalu. Bayangan Fajar masih kurasakan diantara gerombolan penuntut hak itu. Gerombolan yang tak kalah banyak, namun secara nyali tak mampu menandingi. Seandainya Fajar masih bernafas, mungkin ia masih berada diantara gerombolan itu. Atau mungkin namanya sudah berbanjar di antara sederet nama orang besar di negeri ini. Namun bagaimanapun juga ini adalah takdir atas perjuangan yang ia tanamkan.