FLASHNEWS

Cerpen : Jangan Panggil Aku Bunda

Buku Fatamorgana Cinta
Oleh : Lilis Saidah 

Malam yang sunyi, saat sebagian insan masih terlelap dalam buaian mimpi. Tiba-tiba aku terbangun. Aku merasa sangat sedih. “Ada apa ini?” tanyaku dalam hati. Hatiku bagai terbakar, panas tidak karuan. Gelisah. Kutarik selimut sampai menutup wajah. Aku pejamkan mata biar bisa tidur kembali. Malah terasa semakin panas.

Aku bangun dan bergegas menuju kamar mandi. Ku-basuh muka ini. Gyur, seger rasanya. “Sekalian ah, wudhu,” pikirku. Selesai dari kamar mandi, aku langsung menghamparkan sejadah, kupakai mukena dan mengerjakan shalat malam.

Khusyuk yang aku rasakan sampai menitikkan air mata. Ya Alloh, tolong kuatkan hambamu ini dalam mengarungi  kehidupan  yang  penuh  dengan  godaan    Aku terus bermunajat minta pertolongan dari Allah. Selesai shalat malam, aku tak bisa tidur lagi. 

Ada keinginan buat nelpon sayangku, tapi takut menganggu. Akhirnya aku hanya melamun tentang perjalanan cinta bersamanya membuat aku semakin sayang semakin cinta. Walau kadang-kadang dia suka menyakitkan kalau bicara apalagi kalau sms tetapi aku tetap cinta hmmm      kaya dunia milik berdua saja  yang lain ngontrak ha, ha. Aku ketawa sendiri. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, tahu-tahu adzan Subuh berkumandang. Aku bergegas ke kamar mandi sambil sesekali tertawa sendiri. Beginilah kalau lagi gundah gulana karena cinta.

“Ambar!” Aku memanggil pembantuku yang setia menemani aku di rumah, karena kedua orang tuaku super sibuk.
“Ambar!” Aku berteriak karena yang dipanggil nggak muncul-muncul. Ke mana anak itu?
“Ya, Neng!” Dia tiba-tiba muncul di hadapan aku. “Dipanggil-panggil ke mana saja sih?
“Maaf, Neng, nggak dengar, saya lagi nyapu di halaman.”
“Oh, ya udah, tolong aku minta dibuatin nasi goreng sama ceplok telur ya, buat sarapan.”
“Mangga, Neng.” Ambar berlalu. 

“Ambar!” Tiba-tiba aku memanggil lagi.
“Mamah sama Papah pada ke mana sih, ko sepi?” Aku berteriak lagi. Kulihat dari tadi kamar tidur kedua orang tuaku masih tertutup rapat.
“Tadi sih sudah turun ke bawah terus keluar tapi nggak bilang mau ke mana, Neng.”
“Oh, ya sudah, kalau nggak tahu nggak apa-apa.” Aku kecewa dengan jawaban pembantuku.

Selesai sarapan, aku bergegas mengambil tas punggung untuk pergi sekolah. Kebetulan pada hari ini jam pertama ada ulangan. Motor kukeluarkan dari garasi, lalu  aku hidupkan.
Tiba-tiba kedua orang tuaku muncul, aku pura-puran marah.
“Eh, Mamah, Papah dari mana, sih? Kok nggak bilang-bilang sama Nissa kalau mau pergi.”
Mamah memeluk aku sambil bicara, “Aduh, anakku sayang, maafkan Mamah, ya, tadi terburu-buru. Papah ngajak Mamah jalan-jalan pagi. Mamah lihat pintu kamar Nissa masih tertutup, Mamah nggak berani bangunin Nissa, nggak apa-apa kan, Sayang?”

“Ya, deh,” jawabku sambil senyum. Aku lihat kedua orang tuaku makin romantis saja. Kalau sudah waktunya menikah aku ingin seperti mereka, meskipun sibuk tapi tetap romantis. Jadi ingat sama dia yang belum memberi kabar hari ini. Apa sudah berangkat sekolah atau masih tidur. Aku jadi tertawa sendiri sampai kedua orang tuaku kaget.

“Nissa, kenapa ketawa-ketawa sendiri?”
“Nggak Pah, aku jadi malu sendiri. Pah, Mah, Nissa berangkat dulu, ya. Dah Papah, Mamah!” Aku bergegas takut kesiangan, tentu saja setelah diberi uang jajan.

Kusimpan motor di tempat parkir, tak lupa mengunci stang dan helm aku kaitkan supaya aman. Tiba-tiba kulihat dia naik motor membonceng seorang perempuan masuk pintu gerbang sekolah. Melaju mendekati aku. Aku melongo. Siapa ya, perempuan itu. Berani-beraninya naik motor bersama pacarku. Aku deg-degan. Panas dingin diliputi cemburu aku melihat mereka berdua turun dari motor sambil tertawa-tawa. Aku tambah sebel melihat tampangnya. Dengan diliputi rasa cemburu, aku berlari. Tak terasa air mata mengalir. Aku berlari menuju kelas yang lumayan agak jauh. Dengan terengah-engah aku sampai juga di kelas yang ternyata masih kosong belum ada seorang pun. Aku duduk sambil membanting tas punggung kesayanganku. Teganya dia padaku. Mengkhianati aku. Awas, ya! Aku nggak mau dia lagi. Aku mau putus saja daripada harus sakit hati begini. Putus, putus, dan putus, itu yang ada di benakku saat ini.

Mungkin ini sebabnya mengapa aku semalaman gelisah, panas hati, sampai tiba-tiba terjaga dari tidur. Aku semakin dibakar rasa cemburu. Si Aldi ke mana, ya, kok belum masuk ke kelas juga. Biasanya dia sudah nongol. Apa masih dengan perempuan itu. Aku semakin kesal. Bodo amat emang gue pikirin. Aku mencoba bersikap tenang meski dalam hati aku gondok, kecewa, sakit hati, dan cemburu. Aku pura-pura biasa saja. Gengsi, kalau ketahuan aku dibakar cemburu. Aku tersenyum getir.

“Assalamualaikum Nissa, apa kabarmu hari ini? Kok melamun, sih? Masih pagi, euy!” Tiba-tiba suara itu muncul dari balik pintu.
Ternyata Aldi dengan perempuan itu. Aku hanya menoleh sedikit tanpa menjawab sepatah kata pun. Aku pura-pura membaca.
“Nissa, kenapa kok tumben nggak biasanya nih pacarku cemberut dan banyak melamun?” Aldi terus bertanya sambil cengangas-cengenges tanpa merasa berdosa. Aku semakin kesal.
“Bodo!” Aku menjawab dengan ketus.
“Hey, kenapa nih tumben marah-marah gak biasanya?” Aldi mengoceh lagi seperti burung beo. Aku semakin cuek, pura-pura membaca. Padahal aku ingin melabrak pacarku yang tak tahu malu itu. Aku semakin diam. Aldi juga ikut diam sambil ngeloyor pergi ke bangkunya.

Siswa yang lain sudah mulai berdatangan dengan riuh. Biasa, anak-anak SMA kelas 12A IPS selalu ramai seperti di pasar. Aku semakin kesal. Uh, Aldi itu begitu, kalau aku cuek malah dia semakin cuek. Kalau aku marah, eh, dia semakin marah. Kalau aku berontak, dia malah semakin berontak. Bodo, ah! Pikirku. Aku mau konsentrasi ulangan dulu. Meski sakit hati dan cemburu, tetapi kalau urusan sekolah bagiku tetap nomor satu. Aku tertawa getir.

Bel berbunyi tanda masuk sekolah dimulai. Bapak guru yang ramah dan ganteng, favorit aku, sudah datang. Aku tersenyum meski hati sedang bersedih.
“Anak-anak, hari ini kita akan ulangan ya, tolong setelah berdoa nanti bagikan soal ulangannya. Kalian isi dengan jujur, tidak boleh nyontek. Paham anak-anak?” Pak Agus berbicara panjang lebar. Aku hanya diam saja sambil memperhatikann Pak Agus. Dia berwibawa sekali. Mau dong aku jadi pacarnya. Ih, ada-ada saja.

Aku berlalu keluar mencari angin. Pak Agus kembali ke kelas mengabarkan bahwa nanti pulang sekolah kegiatan ekstrakurikuler drama harus latihan. Aku lagi malas, apalagi harus bertemu dengan Aldi yang super jaim kalau lagi kles sama aku. Aku pasti bareng sama dia kalau aku latihan karena dia pun ikut eskul drama. Aku nggak mau. Mending pulang, batinku. Padahal sebenarnya aku ingin sekali ngobrol dengan Aldi. Namun, aku gengsi. Maunya aku, Aldi mendekati aku lalu menceritakan siapa perempuan itu kemudian minta maaf. Namun, dia semakin cuek. Aku geregetan sendiri. Aldi tega sekali sama aku. Aku membatin lagi. Sudahlah aku pulang saja. Di sekolah juga bikin bĂȘte, jadi tambah panas dan cemburu.

Aku bergegas ke parkiran motor dan tancap gas pulang ke rumah dengan hati kecewa berat.
Sampai di rumah keadaan sepi sekali. Mamah dan papahku masih di kantor masing-masing. Aku bergegas ganti baju. Masuk kamar mandi, wudhu terus sholat Zuhur karena tadi di sekolah nggak sempat sholat. Maklum sedang sebal sama pacar yang super cuek, walaupun sebenarnya hatinya baik. Tapi, ya itu, kalau lagi kumat cueknya dia nggak mau minta maaf duluan. Aku pulang duluan saja dia nggak nelpon atau sms. Aku uring-uringan sendiri. Baru selesai sholat sudah memikirkan pacar. Ah, dasar! Maafkan aku, ya Alloh!

Aku bangkit dari kursi menuju tempat rias kemudian memegang hp sambil mencoba memijit-mijit tombol. Masih ada rasa gengsi untuk menelpon atau nge-sms. Bimbang, antara ingin menghubungi dengan rasa gengsi terus bergantian. Sambil berbicara sendiri, Aldi nelpon dong atau sms aku. Ayo dong, Aldi. Semakin ditunggu malah semakin resah. Kusimpan hp dengan kesal. Aku bergegas keluar kamar lalu ke bawah. Masih sepi. Ambar, pembantuku, sedang memasak di dapur. Akhirnya aku ikut memasak daripada kesel tak karuan.

“Ambar, mana pisaunya? Aku ingin bantuin masak.” “Jangan, Neng! Nanti tangan Neng terluka, udah biar
Ambar saja yang masak.” Pembantuku melarang ikut masak. “Nggak apa-apa, Ambar, aku juga kan ingin bisa  masak, nih. Masa perempuan nggak bisa masak, malu dong.” “Sini aku bantuin ngiris bawang, ya, emang mau masak apa, Ambar?” Aku terus bertanya.

“Ini tadi mamah Neng pesen dimasakin sayur lodeh, goreng tahu, sama goreng ayam.”
“Hmm, asyik kesukaanku, tuh,” kataku sambil mengupas bawang terus diiris-iris.
“Aduh, Ambar kenapa aku nangis, nih!” Tiba-tiba aku berteriak karena merasa mataku pedih dan keluar air mata. Ambar hanya tertawa saja melihat aku ribut.
“Aduh, Ambar, kenapa begini?”
“Neng, emang kalau ngupas bawang pasti perih terus nangis, he, he ”

Ketahuan deh jarang masak, laganya aja seperti yang sudah mahir. Makanya jadi anak perempuan jangan manja, ya, he, he.
“Oh,  gitu  ya,  aku baru tahu, nggak apa-apa deh. Pengalaman adalah guru yang terbaik.” Aku berusaha menghibur diri sambil terus mengupas dan mengiris bawang. “Ini apalagi nih, lengkuas, cabe hijau, tomat, dan lain-lainnya sama diiris ya, Ambar?” Aku bertanya. “Ya, Neng, mangga.”

Tak terasa aku ikut memasak di dapur sampai selesai. Aku baru ingat, jangan-jangan Aldi tadi menghubungiku. Aku bergegas naik ke kamar. Setelah meraih hp yang ada di atas kasur, aku melihat apa Aldi menghubungiku atau tidak. Aku kecewa sekali, dengan badan lunglai aku selonjoran di kasur sambil menahan tangis. Aldi kamu tega sekali! Tak mau menghubungi aku.

Apa aku salah berbuat seperti itu? Perempuan mana yang mau melihat pacarnya berboncengan dengan perempuan lain? Aku selalu salah di mata dia. Namun, anehnya, aku semakin mencintai dia. Tak mau kehilangan dia. Padahal yang mau sama aku antri. Malahan aku jatuh cinta sama dia yang super cuek dan jaim, apalagi kalau di depan orang banyak seperti nggak kenal dengan pacarnya. Padahal kalau sedang berdua pasti ramai dan penuh perhatian. Cinta memang aneh, bener-bener aneh. Itulah cinta. Ih, anak sekolahan sudah pandai cinta-cintaan segala. Hatiku terus menggerutu.

“Bundaku sayang, selamat pagi! Ayo kita jalan pagi, biar badan sehat, ayo sayang!” Tiba-tiba Aldi memanggil aku seperti itu. Apa gak salah dengar, batinku. Terus, ini di rumah siapa, ya? Apa aku nggak salah.

“Bunda, ayo sayang, kita jalan pagi biar sehat sebelum kita berangkat kerja, biar badan selalu sehat dan fit, yu, Bundaku sayaang!”
Aku semakin melongo keheranan. Apa-apaan ini, Aldi katanya sudah kerja. Perasaan kita ini kan masih anak sekolah yang berseragam abu-abu.
“Ayo, dong, Bunda!” kata Aldi sambil menjulurkan tangan ingin memegang tanganku. Aku berontak. Menjerit- jerit.
“Hey, jangan panggil aku, Bunda, jangan panggil aku, Bunda! Aku ini Nissa!”
“Bunda, ini suamimu, Aldi. Ayo kita jalan pagi!”

Sambil terus menjerit dan meronta, aku berusaha membantah, “Jangan panggil aku, Bunda! Jangan panggil aku, Bunda! Kapan aku menikah dengan kamu? Aku nggak mau! Aku gak mau!
“Neng, istigfar! Bangun! Ayo bangun, sudah sore, sudah jam lima sore. Ayo, bangun!”
Aku tersentak kaget lalu bangun sambil mengucek-ngucek mata. “Ada apa, Ambar? Kok ngagetin aku, sih?”
“Neng tadi menjerit-jerit sambil bilang, jangan panggil aku, Bunda, jangan panggil aku, Bunda. Emangnya ada apa, Neng?”
Ternyata aku ketiduran dan bermimpi dengan Aldi yang mengaku telah menikahiku. Seperti betul-betul dalam kenyataan, aku sedikit merinding.

“Oh, aku mimpi mau diajak jalan pagi sama Aldi, tapi dia manggil aku, Bunda. Kan aku namanya bukan Bunda tapi Nissa, he, he.” Aku coba menjelaskan.
“Makanya jangan banyak melamun, anak perawan! Apalagi tidur sampai sore.”
Aku jadi malu sendiri. Ketahuan lagi kangen sama Aldi.
“Bunda tuh panggilan sayang, Neng, bukan nama,” kata ambar.
“Pokoknya aku nggak mau dipanggil Bunda, titik!” “Ya, sudah, itu hanya mimpi, Neng. Ayo mandi dulu terus sholat Asyar, sebentar lagi papah dan mamah Neng pulang,” kata Ambar sambil bergegas turun kembali ke bawah.

Aduh, gara-gara memikirkan dia, sampai terbawa mimpi. Akhirnya terpaksa aku harus mengalah. Aku mau minta pejelasan dari Aldi, siapa perempuan yang bersamanya tadi pagi. Biar semuanya jelas dan tak dibakar cemburu lagi. Tapi mengapa aku nggak mau dipanggil Bunda, ya?