FLASHNEWS

Cerpen : Perjalanan Yang Melelahkan


By Indah Wiharti

Teng…teng….bunyi lonceng jam dinding terdengar dua kali. Segera aku bangkit dari dipan. Pagi itu, Sabtu pahing (di tahun 1934), seperti pagi-pagi yang lain aku mempersiapkan beras dagangan. Kebetulan pesanan beras banyak sekali. Sambil sesekali perutku yang semakin membuncit ini ku elus dan kupanggil “si jabang bayi” agar tetap sehat, agar aku dapat terus berjuang mencari nafkah di pasar".

Waktu subuh telah tiba, aku dan dua orang pembantuku bergegas berangkat ke pasar. Belum 100 meter kakiku melangkah terasa perut bagian bawah ini sakit sekali. Aku merasakan barangkali waktu melahirkan telah tiba, kuputuskan untuk tidak jadi  berangkat ke pasar.

Beberapa tetangga kemudian berdatangan untuk membantu dan memberi motivasi agar aku dapat melahirkan dengan lancar. Ada yang mengelus-elus pinggang, ada yang memijat-mijat kaki dan tanganku, tetapi entah kenapa aku merasa kesakitan sekali dan mengantuk, akhirnya aku tak sadarkan diri (pingsan).

Dalam keadaan pingsan itu, aku berjumpa dengan teman lamaku, seorang dukun bayi, mbok Suti namanya kebetulan rumah mantan suamiku tepat di depan rumah Mbok Suti. Walau aku sudah menikah lagi dan tidak bertetangga, tapi kami masih seperti saudara. Kemudian  aku diajak pergi.

“Mas Karta Wadon (demikian mbok Suti Memanggilku), mari saya antar ke rumah seorang dukun bayi yang dapat membantu kelahiran bayimu.”
“Kemana Mbakyu?”
“Ikuti saja langkahku!” aku pun menurut, kami berjalan beriringan, sesekali aku menoleh ke belakang, khawatir ke-4 anakku menangis mencariku.

“Tidak usah ragu Mas Kerta, cepat nanti terlambat!!” sambil menahan sakit, aku berjalan menyusuri pematang sawah, menyeberang kali Progo, terus berjalan kearah barat. Sepanjang perjalanan itu aku bertemu banyak orang, tapi mereka tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Sampailah kami di Bong (kuburan Cina) Desa Walitelon, semakin berat saja kakiku ini untuk melangkah.

“Mbakyu, aku tidak kuat lagi, aku mau pulang saja.:”
“Waduh…sudah dekat mas Kerta, ayo jalan saya gandeng!” Kami pun melanjutkan perjalanan setelah istirahat beberapa saat. Sebenarnya aku sendiri merasa bimbang, pergi tanpa tujuan yang jelas. Tapi keinginan untuk dapat bertemu dengan dukun bayi yang dapat membantu kelahiran bayiku memupus kebimbangan hatiku.

Dua jam lebih kami berjalan, sampailah kami di depan sebuah rumah yang besar sekali. Taman bunga yang sedang bermekaran, lampu-lampu yang indah, seperti rumah-rumah para pejabat Belanda di kota. Rumah itu terletak di atas sebuah bukit. Untuk menuju ke rumah tersebut  aku harus melewati “undak-undakan” (bahasa Jawa) atau tangga yang terbuat dari marmer, mengkilat, bagus dan licin sekali.

“Cepat Mas Karta, segera naik, karena kedatangan kita sudah ditunggu!” suara Mbok Suti membuyarkan kekagumanku. Aku melihat ke atas rumah itu, perasaanku sedikit ragu, bingung dan heran karena ada beberapa ibu yang melambaikan tangan ke arahku. Aku mengenal mereka, ada Mbok Sarni, Mbok Sarinah, Mbok Yami, dll. Mereka adalah para dukun bayi yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.

“Ayo, jangan ragu!” Panggil mereka dari depan pintu. Aku mencoba menaiki tangga yang belum pernah kuinjak, ternyata benar, licin sekali. Beberapa kali kucoba untuk naik, tetapi selalu gagal, aku  tidak bisa, Mbok Suti marah dan membentak-bentakku agar aku berusaha dan tidak takut melangkah.
“Aku tidak bisa naik, Mbakyu. Biarkan aku pulang saja!”
“Mas Kerta, bagaimana tho panjenengan ini, sudah ditunggu,  ibu-ibu sudah menyiapkan makanan yang enak-enak kok tidak mau.”
“Mau bagaimana lagi Mbakyu, aku tidak bisa naik, aku pulang saja ya?” 
“Ya sudah sana pulang, jangan menoleh ke sini lagi!”

Akhirnya aku berjalan pulang, sambil menerka-nerka rumah siapa tadi kok bagus sekali. Aku pun menoleh kearah rumah mewah tadi berada. Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak melihat  bukit yang ditumbuhi rumput liar. Tak tampak lagi rumah mewah di sana. Tidak ada lagi taman, lampu yang  indah dan rumah mewah. Merinding bulu kudukku, kuseret kakiku yang sudah terasa letih dan sakit.

Di tengah perjalanan pulang, aku berjumpa dengan seorang laki-laki tetangga desaku. “Lho Mas Kerta, kok panjenengan disini? Kasihan lho anak-anak menangis di rumah mencarimu!” Tidak sempat aku menjawabnya, aku terus melangkah menyusuri kali Progo, ingin segera bertemu dengan anak-anakku yang masih kecil.

Aku ingat tadi belum masak, pasti anak-anakku lapar. Dari jauh aku melihat banyak sekali orang di depan rumahku, dan sayup-sayup kudengar suara tangisan yang menyayat hati.

“Brakk!!”  Aku kaget sekali, ternyata tadi aku pingsan dan sanak keluargaku sudah berkumpul menungguiku. Percaya atau tidak, setelah peristiwa yang kualami tadi, tiba-tiba air ketubanku pecah dan terdengar suara tangis bayi laki-laki. Tampak wajah-wajah yang semula sendu kini berseri-seri.

Dua jam setelah kelahiran anakku yang ke-5 ini, barulah aku ceritakan peristiwa yang kualami sepanjang perjalanan bersama Mbok Suti. Ternyata Mbok Suti sudah meninggal berapa tahun yang lalu. Ini adalah pengalaman rohani dan perjalanan yang melelahkan.

Saat ini anak laki-lakiku (anak ke-5) menjadi dukun pijat yang cukup terkenal di Temanggung. Namanya Bapak Muchsin, beralamat di dusun Pongangan, Desa Tegowanuh, Kecamatan Kaloran. Entahlah ada hubungannya apa tidak, pengalaman spiritual bersama para dukun bayi yang hendak membantu proses kelahiran anakku ini dengan nasib jabang bayi di kemudian hari yang cukup terkenal sebagai dukun pijat. Yang maha tahu hanyalah Tuhan yang maha kuasa. 

#Cerita ini kupersembahkan untuk kedua anakku Hisyam dan Hasna, “Nak ini cerita nenek buyut kalian saat melahirkan putra ke-5nya.

*Cerpen ini telah diterbitkan di buku Alene, Noni Belanda 2017