Cerpen
April 12, 2020
Cerpen : Ryan, Bunda Mencintaimu
Ilustrasi : Ryan (Sumber Gambar) |
Karya: Indah Wiharti
“Bunda…,dimana tanganku?” pertanyaan anak semata wayangku sontak menusuk tajam ulu hati. Kupandangi wajah mungilnya. Kubelai rambutnya, kucium pipinya. Jangan…jangan keluar air mata. Pantang aku menangis.
“Kapan Tuhan mengembalikan tanganku, Bun?”
“Jika kamu jadi anak sholeh,”
“Aku ingin jadi anak sholeh biar Tuhan mengembalikan tanganku,” bola mata Ryan berbinar dan menatap tajam tepat ke bola mataku. Sungguh tatapan mata itu bagai ujung pisau yang tajam menusuk tepat di ulu hati. Helaan napas panjangku rupanya membuat Ryan penasaran.
“Bisakah aku jadi anak soleh,Bun?”
“Bisa,Nak. Bunda akan mendidikmu dan menyekolahkanmu setinggi mungkin. Bunda akan mengantarmu belajar mengaji dan belajar membaca Al-quran,”
“Asyiiiik….!” Senyum Ryan mengembang. Aku banyak belajar dari anak ini. Meski ia berbeda dari teman sebayanya namun tak pernah sedikitpun ada rasa sedih dimatanya.
“Sudah cukup malam, saatnya istirahat. Ryan tidur duluan ya. Bunda mau beres-beres dagangan dulu, biar besuk bisa berangkat pagi.” Kataku sembari mengantar Ryan tidur di kamarnya.
*****
Berjuang sendiri membesarkan anak berkebutuhan khusus tidaklah mudah. Tidak jarang cibiran dan perlakuan kurang menyenangkan aku alami. Jangankan orang lain, keluargaku, keluarga suamiku, dan bahkan suamiku sendiri saja sinis dan memandang rendah kehadiran Ryan. Kuakui Ryan memang anak yang kurang sempurna, ia tidak memiliki tangan, kedua kakinya tidak sempurna sehingga ia tidak mampu berdiri dan berjalan. Hanya mata dan suaranya yang terdengar indah. Aku menyayangi sepenuh hati. Meski aku harus rela berpisah dari suamiku.
“Aku tak sudi punya anak cacat, aku malu,!” kata suamiku suatu hari.
“Astagfirullah haladzim, istigfar Mas. Tidak boleh berkata seperti itu,”
“Halah…tidak ada dalam sejarah keluargaku anak cacat. Dia bukan keturunanku,”
“Ya Allah, mengapa engkau setega itu Mas. Ryan anak kita, buah cinta kita,”
“Tidak!!!” kata suamiku sambil berlalu meninggalkan aku yang menangis tersedu-sedu.
Kupeluk jabang bayi yang tidak berdosa itu. Ya Allah, kuatkan hati dan berilah kesabaran. Berilah petunjuk agar hati suamiku terbuka. Tidak ada manusia yang mau jika ditakdirkan cacat. Ia hadir ke dunia adalah amanah dari Allah Swt, sepatutnya diterima dengan senang hati. Tuhan memilih aku menjadi ibu dari anak ini pasti Tuhan memiliki rencana yang aku tidak tahu apa hikmah di balik amanah ini.
Sejak hari itu suami sering pulang larut malam, jika di tegur ia marah-marah. Sampai akhirnya suatu hari ia mengutarakan akan menceraikan aku. Sungguh sakit rasanya, mendengar perkataan yang keluar dari mulutnya. Aku tidak menangis kali ini, karena talak sudah terlanjur jatuh maka aku harus menerima. Pantang menangis di hadapan lelaki sombong, yang dulu sangat kucintai. Kehadiran Ryan mengubah segalanya. Cinta kepada suami sudah mulai luntur, aku lebih memilih anakku. Cintaku dan hidupku hanya untuk Ryan. Siapa yang akan peduli padanya jika bukan aku? Ryan, Bunda akan berjuang membesarkanmu sampai kelak engkau dewasa.
“Bunda….,” suara Ryan membuyarkan lamunanku.
“Ada apa, Nak,”
“Kenapa Bunda Bersedih?” pertanyaan Ryan mengagetkanku.
“Bunda tidak bersedih, tapi tadi sedang berfikir tentang lebaran ke kampung halaman sebentar lagi,”
“Bunda mau pergi kemana?”
“Bunda, tidak akan keman-mana. Bunda hanya kangen sama nenek di kampung,”
“Ryan belum pernah ketemu nenek,”
“Suatu hari Ryan pasti bertemu dengan nenek dan saudara-saudara Bunda yang lain,”
“Kapan,Bun?”
“Kalau Ryan sudah pandai mengaji,”
“Ya, Bun.”
Ryan berjanji akan bersungguh-sungguh belajar mengaji, belajar membaca Al-quran. Ia selalu bersemangat berangkat ke Surau, belajar mengaji bersama Ustad Amirudin. Setiap hari ia menghafalkan ayat-ayat al-quran, aku bangga memiliki putra seperti Ryan. Ia menjadi penyemangat hidupku. Karena kehadirannyalah aku mampu bertahan menghidupi keluarga seorang diri. Insyaallah kelak Ryan akan mampu menjadi butiran cahaya yang akan menarik kedua orangtuanya menuju surga. Ryan, Bunda mencintaimu sepenuh hati.