Cerpen
April 18, 2020
Cerpen : Banjir Darah
Oleh Indah Wiharti
Menyempatkan waktu untuk mengunjungi ambruknya jembatan Progo, ada dorongan kuat yang menyeret langkahku ke tempat ini. Entah karena rasa nasionalisme kebangsaannya muncul, atau kekecewaan, kepedihan, kemarahan, dan apapun alasannya yang jelas di bawah rintik hujan di pinggir kali Progo aku menatap nanar. Ingin rasanya berteriak, mengapa cagar budaya ini disia-siakan? Mengapa tidak dirawat? Mengapa dibiarkan terbengkelai? Mengapa dibiarkan semakin rapuh tergerus air sungai dan mengapa besi-besi kokoh ini dibiarkan keropos oleh waktu?
Aku berdiri di pinggir kali Progo, di atas tanah dan rerumputan yang basah karena hujan seharian. Meskipun begitu tidak menyurutkanku untuk sekedar memanjatkan doa kepada para arwah yang telah mati terbunuh di kali ini. Mereka mempertaruhkan jiwa dan raga untuk kemerdekaan bangsanya. Di ujung jalan tampak beberapa orang memperbincangkan ambruknya jembatan yang sangat bersejarah bagi daerahnya. Dengan nada kesal lelaki yang memakai sarung dan kaos oblong itu berbicara dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk ke arah kali.
“Coba lihat dinding kanan kiri jembatan ini Kang, sudah terkikis oleh derasnya arus sungai, pantaslah tiang penyangga tidak mampu menahan beban,” kata orang itu kepada temannya.
“Bagaimana tanggungjawab pemerintah daerah menyikapi ambruknya jembatan ini? Apakah hanya akan diam seperti kemarin?” lanjutnya penuh kesal.
“Mestinya pemerintah daerah malu kepada dunia, jembatan ini memiliki nilai sejarah yang tinggi bahkan sudah dijadikan cagar budaya. Tetapi dibiarkan mangkrak dan tidak diperhatikan keberadaannya,”
“Mereka sibuk membangun yang menguntungkan kroninya saja, Kang.”
“Apakah mereka lupa bahwa di jembatan ini, pada masa agresi militer Belanda Tahun 1948-1949 ribuan pemuda dan pejuang digorok dan dibantai ?”
“Entahlah Kang, kita lihat saja apa yang akan dilakukan pemerintah daerah untuk tempat bersejarah ini.”
Kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu, aku sangat memahami kemarahan dan kekecewaan masyarakat atas tragedi tersebut.
***
Merasa penasaran tentang tragedi pembantaian massal di jembatan Progo, aku segera membongkar tumpukan buku-buku sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa agresi militer II pada tahun 1948-1949. Sebuah tragedi heroik yang sangat menyakitkan pernah dialami para pemuda dan pejuang Republik Indonesia. Saksi sejarah yang lolos dari pembantaian itu menuturkan cerita yang membuat air mata ini menetes deras, sangat sadis.
Ribuan pemuda yang dieksekusi di jembatan Progo tanpa pengadilan terlebih dahulu. Beberapa orang yang di bawa pergi dari kamp atau penjara di malam hari untuk kemudian tak pernah kembali lagi. Mata tertutup kain hitam, kedua tangan diikat dibelakang tubuh mereka. Dinaikkan truk dan dibawa pergi entah kemana. Mereka saling membisu, tak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya suara deru kendaraan melaju kencang di tengah keheningan malam dan berhenti di suatu tempat. Mereka tidak mengetahui diberhentikan di daerah mana dan tempat apa. Semua gelap. Yang mereka dengar dan rasakan mereka diturunkan di pinggir sebuah sungai, air sungai sedang meluap sehingga arusnya terdengar begitu keras.
“Semua turun satu persatu, cepat!” perintah salah satu serdadu hitam anthek Belanda. Mereka penghianat bangsanya sendiri.
Para pemuda dan pejuang yang masih terikat tangan dan tertutup matanya itu dipaksa segera turun dari truk. Mereka di dorong, di pukul dengan kayu agar segera turun kemudian diminta untuk berbaris. Di tengah kegelapan malam mereka berbaris antri menunggu pemenggalan dan eksekusi mati. Satu per satu para pejuang itu dibantai. Di penggal kepala terpisah dari badan, kemudian di dorong ke sungai. Banjir darah tak terelakkan, sekejap air sungai memerah kemudian mayat dan kepala yang terpisah itu hilang terbawa arus sungai.
Tak sempat bertanya dan membela diri, mereka menerima hukuman keji itu tanpa daya, pasrah. Hanya keyakinan di dada para pejuang itu, demi harga diri dan kemerdekaan bangsa mereka rela menerima hukuman. Mereka yakin Tuhan sudah menyiapkan balasan surga untuk pengorbanan ini.
Membayangkan tragedi itu membuatku tak bisa memejamkan mata, terlihat di pelupuk mata para pemuda yang gagah berani mempertaruhkan nyawa demi kejayaan bangsa. Kuputuskan sepulang sekolah besuk sore aku akan mendatangi tempat bersejarah ini kembali.
***
Menunggu hujan reda siang ini terasa membosankan. Aku melirik jam dinding di sekolahku menunjukkan tepat pukul 15.00 WIB. Keinginan segera mengunjungi lokasi pembantaian para pejuang di kali Progo membuat waktu berjalan lambat. Dering pesawat genggam di saku mengagetkan lamunanku.
“Halo….,” terdengar suara di seberang sana. Suara seorang teman yang sangat peduli pada sejarah, dan selalu mengiyakan ajakan-ajakanku berdiskusi masalah sejarah.
“Halo juga Mas Bro, hujan rupanya menghalangi niat kita,” kataku membuka pembicaraan. Aku memang sengaja mengajaknya berkunjung ke jembatan Progo untuk menelusuri jejak sejarah masa lalu. Kebetulan hari Sabtu ia libur karena kantornya lima hari kerja.
“Ya, aku sudah sampai di Secang nih. Basah kuyup,”
“Dirimu naik apa? Sepeda motor?”
“Begitulah, aku berhenti sebentar harus memakai jas hujan. Tadi sengaja terus lanjut eh hujan makin deras.”
“Ok, hati-hati di jalan Mas Bro langsung ketemu di TKP ya,”
“Siap,” begitu kata Hermawan yang biasa saya panggil Mas bro. Hermawan seorang ahli sejarah, lulusan Universitas Indonesia. Selain sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta ia juga seorang penulis sejarah yang handal. Buku-buku karyanya sering saya gunakan sebagai rujukan dalam penelitian yang saya lakukan.
Masih menyisakan rintik hujan sore ini, aku segera bergegas ke tempat parkir memakai jas hujan dan langsung tancap gas menuju jembatan kali Progo Kranggan. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di TKP. Menunggu kedatangan Hermawan aku masuk ke warung makan sebelah jembatan memesan dua gelas jeruk panas dan ayam bakar kesukaan kami. Berharap sesampainya di tempat ini Hermawan langsung dapat menikmati segelas jeruk panas agar rasa dingin karena kehujanan sepanjang perjalanan tadi segera hilang.
“Ciiiiiiit…..,” suara rem motor Hermawan memekakkan gendang telingaku, ia berhenti tepat di depan warung kemudian memarkir sepeda motor kesayangannya di tempat itu.
“Hai….dah lama menunggu, Nis?” kata Hermawan dengan senyuman khasnya.
“Baru lima menit yang lalu, duduk-duduk di sini dulu. Kita nikmati rezeki nomplok sore ini,” kataku sambil mempersilakan Hermawan duduk di sampingku.
“Jam berapa tadi berangkat dari Jogja?”
“Sekitar jam dua, sebenarnya ada acara juga hari ini. Biasa kumpul-kumpul dengan beberapa komunitas sejarah membahas agenda ekspedisi jalur kuno berikutnya,”
“Wao….jangan lupa kabari diriku yo. Kapan rencananya?”
“Belum tahu, khan aku memilih ketemu dirimu tho. Hehehehe …,”
“ Hehe …,” aku tertawa mendengar dia lebih memilih berdiskusi denganku.
“Sebelum kita mendekat ke arah pinggir sungai sebaiknya kita santap dulu masakan khas yang top markotop ini, Her.” Kami pun melahap kuliner khas daerah Kranggan, bumbu ayamnya terasa sekali rasa rempahnya. Rasa manis dari kecap cap Cangak menambah lezatnya ayam bakar ini, ditambah perut kosong dan udara yang dingin menjadikan makan sore kali ini tarasa lebih nikmat dari biasanya.
“Kita langsung menuju monumen tragedi pembantaian saja ya, nanti dirimu bisa bertanya apa saja,” Aku mengangguk tanda setuju. Kami berjalan menuju lokasi sambil terus berdiskusi.
“Tadi saya membaca berita dari koran, banyak pihak menyesalkan lambannya Pemerintah Daerah menangani kasus ini. Sangat disayangkan cagar budaya, jembatan bersejarah sebagai saksi bisu kekejaman Belanda kala itu, dibiarkan begitu saja.”
“Yach begitulah, saya juga heran mengapa banyak kasus beberapa cagar budaya (di banyak tempat) dibiarkan mangkrak. Kesannya tidak dirawat,”
“Alasannya kurang menjanjikan uang banyak, bisa jadi dengan merawatnya justru banyak mengeluarkan uang,”
“Nah, pemikiran macam itu (selalu uang dan uang) yang jadi prioritas menjadi penyebab menurunnya karakter bangsa”
“Ambruknya jembatan Progo jelas memperlihatkan kepada dunia lunturnya kepedulian kita terhadap sejarah,”
“Pemerintah daerah harus bertanggung jawab membangun kembali jembatan ini,”
“Semoga segera terwujud, konstruksi jembatan yang mirip jembatan Progo lama harus tetap ada, agar para arwah yang jiwanya melayang di tempat ini tidak bersedih.”
Aku dapat merasakan jeritan tangis para arwah yang telah mengorbankan jiwa raganya di tempat ini. Mereka yang telah mati tidak menuntut untuk dihormati, dipuji, disanjung, namun cukup dikenang dan satu permintaan jangan sia-siakan sejarah. Jangan terulang pada cagar budaya di manapun berada. Cukup jembatan Progo ini saja!
Kami diam terpaku memandangi air sungai yang keruh karena lumpur yang tergerus derasnya hujan. Bau anyir dari ikan –ikan yang mabuk karena lumpur itu sangat menyengat hidung. Barangkali bau anyir serupa dahulu bercampur baur dengan darah segar dari mayat-mayat tak berdosa yang hanyut terbawa arus kali.
Kepedihan begitu sangat kurasakan, seakan arwah mereka menangis tersedu sedan di hadapanku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, tak juga bisa menolong. Aku juga merasakan gundah gulana. Melalui jeritan kata hati ini kusampaikan kepada dunia bahwa mereka (para pejuang yang telah mati) berduka atas ambruknya jembatan ini.
Yach, betul kata semua orang bahwa tragedi ini sebagai bukti dari kami para generasi penerus bangsa dan terutama pemerintah telah mengabaikan sejarah. Jangan sekali-kali bilang: Kami tak abaikan sejarah! Perkataan itu sangat melukai hati karena kenyataannya sungguh telah terabaikan. Lihat dan buka mata selebar-lebarnya.
Aku dan Hermawan larut dalam pikiran masing-masing. Satu setengah jam di pinggir kali bersama Hermawan sore ini terasa begitu singkat, namun banyak hal yang kami diskusikan. Andai masih banyak waktu ingin rasanya berdiskusi tentang sejarah kotaku yang luar biasa.
Senja semakin beranjak gelap, aku dan Hermawan sepakat untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang meninggalkan luka lama. Butuh waktu panjang untuk memahami suatu tragedi sebagai sebuah pembelajaran. Hanya orang-orang yang mau belajar dari sejarah masa lalu yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi.
***
*Telah diterbitkan dalam buku Dari Luka Aku Berkarya