FLASHNEWS

Cerpen : Bohong



Oleh: Lilis Saidah

Gedung sekolah nampak menjulang tinggi. Para siswa bergegas menuju ke kelasnya masing-masing takut kesiangan. Padahal jam masih menunjukkan angka 6 lewat 35 menit. Ternyata para siswa itu yang mendapat tugas piket untuk membersihkan ruangan kelas.

Dari kejauhan nampak seorang siswi yang dengan cueknya berjalan sambil menggendong tas yang sudah kelihatan kumal. Dia terus masuk ke kelas yang sedang disapu oleh temannya.

”Stela, awas dong jangan dulu masuk, kan lagi disapu!” teriak Dena sambil cemberut kesal.

“Wey, suka-suka aku dong,” timpal Stela sambil melempar tas gendongnya dan menedekati Dena.

“Mau apa kamu, ngajak berantem sama aku?”

Cepat-cepat Dena keluar, tidak mau meladeni Stela yang mulai berulah.

“Wey, sini kamu, jangan keluar!” teriak Stela sambil bergegas keluar untuk mengikuti Dena. Untungnya di luar ada Bu Sinta yang sedang memperhatikan para siswa yang sedang menyiram tanaman.

“Ada apa Stela, kok teriak-teriak?” sapa Bu Sinta dengan lembutnya. Semua guru tahu Stela selalu menjadi pusat perhatian orang karena kelakuan Stela yang urakan dan selalu mencari gara-gara.

“Ini, Bu, Dena cari masalah saja sama aku,” timpal Stela.

“Ah, Ibu tahu lho, kan Dena lagi nyapu kelas lalu kamu langsung masuk. Usahakan, ya, kalau masih ada yang nyapu, siapa pun, jangan dulu masuk biar bersih dulu ya, Stela!” Ibu Sinta menasehati dengan lembut. Ada yang mengalir lembut di hati Stela. Terasa lapang. Betapa tidak, Ibu Sinta dengan ibunya sangat jauh dalam memberi perlakuan, bathin Stela.

“Ya, Bu, maafkan saya!”

“Ya, Stela, Ibu selalu memaafkan, tapi yang lebih bagus minta maaf ke Dena ya, sayang!” Stela mengangguk dan beranjak mendekati Dena yang kelihatan sekali masih kesel.

“Dena, aku minta maaf, ya!” Tangannya meraih tangan Dena.

“Ya, aku maafkan.”

Ibu Sinta tersenyum. Alhamdulillah, pikirnya. Tumben Stela mau langsung minta maaf duluan, padahal dia gengsinya sangat tinggi, Ibu Sinta bergumam dalam hatinya. Dia berpikir sebenarnya Stela anak yang pintar, tetapi mengapa perilakunya seperti begitu. Ada apa dengan Stela? Aku harus lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ya, aku akan dekati dia terus, batin Bu Sinta.

“Stela, nanti sebelum pulang kita ngobrol ya, Ibu salut lho hari ini sama kamu,“ kata Bu Sinta sambil memeluk Stela. Diperlakukan seperti itu, akhirnya Stela tak kuasa untuk menangis.

“Lho, kenapa menangis, Stela?” Bu Sinta terkejut. Pasti ada apa-apa dengan Stela. Bu Sinta tambah penasaran ingin mengorek lebih jauh lagi tentang Stela.

“Tidak apa-apa, Bu, maafkan aku ya, Bu!”

“Ya, ya, Ibu sudah memaafkan, tenang saja jangan nangis, ya, sayang. “Buru-buru Bu Sinta mengakhiri karena sudah bel berdentang tanda masuk. Apalagi para siswa sudah bergerombol di kelas.

Menunggu adalah hal yang paling membosankan namun sekaligus mendebarkan, apalagi menunggu yang spesial. Stela tersenyum sendiri. Rasanya bel terakhir berbunyi lama sekali. Ia ingin cepat-cepat keluar menemui Bu Sinta. Aneh, pikirnya. Bu Sinta tidak begitu dekat dengan aku namun seolah ada magnet aku harus mencurahkan segalanya pada Bu Sinta, batin Stela. Yang lebih aneh lagi, aku jadi merasa dekat padahal aku tidak mengungkapkan apa-apa pada Bu Sinta, tapi Bu Sinta seolah tahu tentang aku. Stela malah melamun.

Hujan rintik-rintik di pagi ini seolah tahu apa yang ada di dalam hati Stela. Dia mendesah dengan pikiran menerawang. Apa yang harus aku lakukan? Melawan arus membohongi hati nurani? Diam seribu basa ataukah berontak dengan keadaan? Stela menghela nafas seolah ingin melepas beban yang menghimpit dalam hatinya. Aku ingin tetap sekolah, aku ingin tetap dengan teman-temanku, teriaknya dalam hati.

“Hey, Stela, kenapa bengong saja?” sapa temennya sambil menggoyangkan badan Stela yang nampak seperti orang linglung. Dengan terkejut Stela bangun, sambil berkata, ”Tidak, aku tidak apa-apa kok!” Stela terus ngeloyor yang nun jauh di  sana,  yang entah  di  mana,” batinnya. Dia melihat sekeliling, yang ada hanya tembok dan foto keluarga yang sudah agak buram.

Hati Stela mendesah. Sakit yang kurasakan tak membuatmu ingin menemuiku, malah semakin jauh,  semakin tak acuh, semakin tidak peduli. Apa hatimu terbuat dari batu? Apa tidak ingat masa-masa indah bersamamu? Seakan kita akan hidup seribu tahun lagi. Kau berjanji akan setia sehidup semati. Kau rela akan membuang yang lain demi aku? Namun, apa yang terjadi, kau sungguh tega mencampakkan aku. Itulah kata-kata yang tergiang sampai detik ini oleh Stela. Ucapan ayahnya pada ibunya Stela saat Stela masih kecil. Ibunya menangis meraung-raung tanpa mengindahkan Stela yang ikut menangis.

Stela makin terpuruk oleh ketidakmengertian. Malam yang semakin larut menambah rasa dingin dan bekunya hati. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk antara senang, rindu, mangkel, sekaligus benci. Betapa tidak, orang itu makin asing di matanya. Tak ada kabar, tak ada berita seperti biasanya. Meski kadang yang diterima adalah kabar yang tidak dia sukai. Namun, dia selalu berharap orang itu menyapa walau sapaan yang datar, tapi membuatnya sedikit terhibur. Sudah berminggu-minggu dia menunggu, mengharap hp-nya berdering, tetapi sesuatu yang diharap hilang bagai ditelan bumi, sehingga menambah resah dan gundah hatinya. Stela makin merana di pembaringan seraya memeluk guling. Dia mulai tersedu-sedu menahan segala rasa yang berkecamuk dalam dada.

“Ah, kenapa pikiranku melayang ke dia terus. Duh, apa yang harus aku lakukan untuk melupakan dia. Apalagi dia sedang berada di sana bersama yang lain yang aku benci. Karena dia aku jadi seperti ini! Siapa yang harus aku percaya. Aku belum berani bertanya lebih jauh mengenai yang aku khwatirkan.” Stela makin menerawang.

“Walaupun aku tidak mau seperti ini, aku harus berjuang. Aku ingin mempersatukan kembali, walau entah bagaimana caranya.“ Kembali Stela berbicara dalam hatinya. Dia bangkit dari pembaringan menuju dapur kemudian menuangkan air teh kesenangannya untuk diminum dan kembali ke kamarnya.

Pagi yang cerah, tapi tak secerah hati Stela yang semakin resah. Sambil menyusuri jalan yang mulai ramai oleh orang-orang yang berolahraga pagi, Stela menepi ke sebuah bangku taman lalu duduk dengan lunglai. Terngiang kembali kata-kata ibunya sambil sedikit membentak, “Jangan sekali pun mengungkit tentang ayahmu!”

“Sudahlah, yang ada di hadapanmu sekarang adalah ibumu, ngerti, Stela!”

Jantung Stela seperti mau copot. Bagaimanapun dia itu adalah ibunya yang telah membesarkan dan mendidiknya sampai sekarang ini. Namun, apa pun yang terjadi dia harus tahu sebenarnya apa yang terjadi. Maafkan aku, Ibu, aku tidak akan pulang sebelum tahu yang sebenarnya, batin Stela sambil bangkit dan berlari meninggalkan orang-orang yang berada di taman yang sedang berolahraga pagi.
Tak diduga Stela jatuh tersungkur. Stela menjerit sambil cepat bangkit dan coba duduk. Terlihat lututnya berdarah. Stela meringis kesakitan. Dia bangkit dan berjalan kembali sambil melihat kiri kanan untuk meminta bantuan, tapi tidak ada siapa-siapa. Ternyata Stela sudah berlari jauh dan berada di tempat yang sepi. Stela teringat ke Bu Sinta. Akhirnya dengan jalan agak terseok, karena lututnya sakit, Stela berjalan menuju angkot yang lumayan agak jauh untuk menemui Ibu Sinta.

“Assalamualaikum!” Stela mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah Bu Sinta.

”Waalaikumsalam.” Terdengar dari luar ada yang membalas salam dari Stela. Plong rasanya hati Stela. Ternyata Bu Sinta yang membalas salam dan membukakan pintu untuknya.

”Stela, apa kabar? Kok tahu rumah Ibu, ya,” sapa Bu Sinta sambil menyalami Stela dan menciumi pipi Stela. Ser, darah Stela mengalir dingin. Rasanya adem sekali.

”Baik, Bu. Aku tahu rumah Ibu dari dulu,” kata Stela sambil tersipu malu.

”Ayo masuk. Stela sendiri ke sininya?” tanya Bu Sinta sambil menggandeng Stela masuk ke ruang tamu yang terlihat sangat asri.

”Maaf, Bu, apa saya mengganggu?” Stela langsung bertanya pada Bu Sinta.

”Oh, tidak, Stela. Malah Ibu seneng lho kamu ke sini, sayang. Kenapa kemarin Stela malah pulang, kan sudah janji mau ketemu sama Ibu.”

”Eh, ya, maaf Bu, Stela kemarin masih ragu, tapi setelah dipikir-pikir kalau begini terus Stela tidak sanggup.” Tak terasa air mata Stela menetes membasahi kedua pipinya. ”Eh, Stela, kenapa? Ayo, ada apa sebenarnya? Ibu lihat Stela tidak seperti biasanya, sayang.” Dengan lembut Ibu Sinta memeluk Stela yang semakin menjadi nangisnya. Seolah ingin menumpahkan segala rasa pada Bu Sinta.

Sambil tersedu-sedu Stela bercerita mengapa selama ini dia bertingkah sangat ceroboh, selalu membuat onar, menjadi pusat perhatian orang karena kecuekannya, dan selalu melanggar aturan. Semua karena Stela ingin memberontak pada kenyataan mengapa dia dipisahkan dengan ayahnya yang sangat dicintai dan dirinduinya selama ini. Sementara itu, kalau bertanya pada ibunya malah suka dimarahi dan tidak mau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Stela berbohong pada semua orang untuk menutupi kenyataan hidupnya yang berbeda dengan orang kebanyakan yang masih punya keluarga yang utuh, ada ayah, ibu, kakak, dan adik. Sementara dia berbeda. Dia  tidak punya kakak atau adik, bahkan ayahnya pergi.

“Aku berontak, Bu, dengan keadaan ini. Allah tidak sayang sama Stela,” cerocos Stela tanpa henti mengeluarkan unek-uneknya yang selama ini dia pendam sendiri.

”Ayo terus tidak apa-apa, Stela,” kata Bu Sinta dengan bijak. Untungnya di rumah Bu Sinta sepi. Coba kalau lagi ada orang, dikiranya ada apa, batin Stela.

“Maafkan aku, Bu, aku sudah tidak kuat!”

Setelah reda tangisnya, Stela berbicara pada Bu Sinta, ”Bu, aku harus bagaimana sekarang, aku rindu pada ayah. Aku ingin bicara pada ayahku. Mengapa ayah meninggalkaan aku beserta ibuku?“

“Oh, begitu, ya. Ternyata Stela punya masalah yang memang harus segera diselesaikan.”
Dengan bijak Bu Sinta berbicara, ”Stela, Ibu sangat mengerti perasaanmu, Nak. Menurut Ibu, alangkah baiknya Stela bicara lagi sama ibumu. Baik-baik, ya!”

“Aku sudah bosan, Bu, bicara sama ibuku. Dia selalu marah-marah dan aku tidak boleh tahu,” timpal Stela agak emosi.

”Ya, sudah kalau begitu, bagaimana kalau dengan Ibu yuk, menemui ibumu. Eh, ngomong-ngomong, Stela bilang sama ibumu tidak, mau ke sini?”

“Tidak, Bu. Pokoknya aku tidak ingin pulang kalau ibuku masih tetap tidak mau menjelaskan pada Stela,” jawab Stela dengan emosional.

“Jangan begitu sayang, ya. Bagaimanapun itu ibumu, mungkin ibumu tidak mau menjelaskan karena ada alasannya.”

“Alasan apa? Aku anaknya, sudah gede, masa tidak boleh tahu,” timpal Stela.

”Ya, mungkin ibumu tidak mau Stela sakit hati atau ibumu tidak ingin Stela terbebani oleh masalah ini sayang,” Bu Sinta makin lemah lembut berbicaranya supaya Stela tidak emosional.

”Justru dengan tidak ada penjelasan, Stela tambah penasaran, tambah sakit hati, Bu. Stela sudah bisa merasakan penderitaan ini. Stela sudah gede, Bu, tahu sekali arti cinta, sayang, dan benci.”

”Ya, sayang. Begini saja, ya, Ibu akan menelpon ibumu dulu biar masalahnya cepat selesai, boleh sayang? “

“Jangan, Bu! Aku tidak mau ketemu ibuku. Aku benci,” timpal Stela.

”Lho, jangan salahkan ibumu, Nak, tidak baik. Kalau seperti ini terus tidak akan ada jalan penyelesaiannya, Stela sayang. Begini saja, ya, sekarang Stela istirahat dulu. Sudah makan belum? Kalau belum, yu, makan dulu biar pikirannya tenang.” Bu Sinta menuntun Stela ke ruang makan. Dengan malu-malu akhirnya Stela makan juga, karena memang perutnya belum diisi dari sejak pagi. Sementara Stela makan, diam-diam Bu Sinta menghubungi ibunya Stela.

Di rumah, ibunya Stela mulai gelisah. Sudah jam 12 siang Stela belum juga pulang. Tidak seperti biasanya seperti itu. Ternyata, kalau di rumah Stela selalu tepat waktu dan penurut. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, ke mana tuh anak. Dihubungi, hp-nya tidak aktif, bilangnya mau ke car free day di taman kota, kok belum pulang juga. Ya Allah, selamatkan putriku, ya Allah, batin ibunya Stela. 
Jangan-jangan dia ingin tahu lagi tentang ayahnya. Ya Allah, apa aku salah tidak memberitahukan alasannya pisah dengan ayahnya. Aku tak ingin penderitaan hidupku menimpa putriku, ya Allah. Aku tidak mau kehilangan putriku, ya Allah. Aku sangat sayang dia. Aku tidak mau putriku mengalami apa yang aku alami, ya Allah. Ibunya Stela membatin.

Dengan berlinang air, mata ibunya Stela bergegas ke kamar mandi, berwudhu karena sudah tiba waktunya sholat Zuhur. Sesaat setelah selesai sholat dan berdoa, tiba-tiba hp-nya bordering. Dengan sedikit berlari ia mengambil hp yang tergeletak di meja.

”Halo, waalaikumsalam, ya, saya sendiri. Maaf dari siapa, ya?”

”Alhamdulillah,” suara di seberang sana mengucap syukur, ”Begini Bu, saya gurunya Stela mau mengabarkan Stela ada di rumah saya. Sekarang lagi istirahat, kelihatannya capek. Stela tidak mau pulang setelah panjang lebar bercerita. Maaf sekali, bukannya mau ikut campur, sebenarnya Stela ingin sekali tahu apa yang terjadi antara ibu dengan ayahnya Stela. Sekali lagi mohon maaf, Bu.” Bu Sinta berbicara panjang lebaar.

“Ya Allah, Stela bicara apa saja Bu, ya, aduh jadi malu, ya.”

“Tidak usah malu ya, Bu, tidak apa-apa namanya juga manusia hidup pasti ada saja masalah. Mungkin Ibu tidak mau Stela tahu, tapi bagi Stela itu dianggap lain.”

“Oh, gini saja, Bu, gimana kalau saya saja yang datang ke rumah Ibu. Saya akan jelaskan permasalahan yang sebenarnya,” ibunya Stela mengalah sambil menghela nafas panjang.

”Ya, Bu, dengan senang hati saya tunggu,” kata Bu Sinta sambil memberikan alamat yang akan dituju oleh ibunya Stela.

Ya Allah, putriku ternyata sudah besar. Ya, mungkin inilah saatnya Stela harus tahu yang sebenarnya terjadi. Meski sakit hati, aku harus menjelaskan. Sepahit apa pun, biarkanlah hanya Allah SWT yang tahu apa yang ada dalam hatinya. Ibunya Stela berceloteh dalam hatinya.

Kehidupan harus tetap berjalan. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena dengan pengalaman, kita bisa mengoreksi kesalahan dan kegagalan yang telah kita lalui dan tak akan mengulanginya kembali. Semoga, ya Allah, kata batin ibunya Stela.

“Ya, aku harus berani dan tegas terhadap putriku demi kebaikan dia. Jangan sampai putriku membenci aku sebagai ibunya karena salah menafsirkan permasalahan. Apalagi putriku baru beranjak remaja, aku harus mengalah demi orang yang paling aku cintai, kata batin ibunya Stela sambil beranjak keluar mengunci pintu dan pergi untuk menyusul putrinya yang sedang berada di rumah gurunya.

Kelihatan sekali ibunya Stela orang yang kuat dan mandiri. Menghidupi dirinya beserta putrinya. Orangnya supel, mudah bergaul, dan sangat baik. Banyak orang yang ingin berdekatan dengan dirinya, bahkan ada juga orang yang memanfaatkan kebaikannya. Namun, ia tetap kuat setegar batu karang. Ia selalu menikmati hidup, meski sebenarnya ia punya masalah kehidupan yang menyakitkan, tapi ia bisa melaluinya. Bahkan pada putrinya sendiri ia bisa menutupinya, walaupun akhirnya putrinya berontak. Ia menyadari kesalahannya, makanya ia nekad datang ke gurunya meski sebenarnya ia bisa menyelesaikan masalah tersebut. Tapi demi orang yang disayanginya, ia mengalah asal putrinya kembali.

Ibunya Stela membuka garasi, kemudian membuka pintu mobil dan menghidupkan mobil mungil yang setia membawa ia ke mana pun pergi. Ia menyetir mobilnya dengan tenang menyeruak di keramaian jalan. Tak sampai  20 menit, ia sudah tiba di rumah Bu Sinta.

“Assalamualaikum!” Ibunya Stela mengucap salam yang langsung dijawab oleh Bu Sinta yang sudah menunggu di depan pintu.

”Oh, ini ya, mamanya Stela, aduh cantiknya,” timpal Bu Sinta sambil mempersilakan masuk ibunya Stela ke ruang tamu.

”Wah terima kasih, Bu, ah biasa aja,” jawab ibunya Stela

”Di mana Stela, Bu?” Ibunya Stela langsung menanyakan putrinya.

”Masih tidur, Bu, kasian dia lelah kayaknya, biarkan saja dulu dia tidur jangan dibangunkan ya, Bu,” jawab Bu Sinta.

“Begini ya, Bu, mohon maaf sekali Ibu telah saya hubungi karena Stela yang telah curhat pada saya tentang masalah dia. Menurut Stela, dia sudah tidak bisa menahan perasaannya selama ini. Jika bertanya pada Ibu malah dimarahi, makanya tingkah polah di sekolahnya agak memprihatinkan. Selalu berbuat onar, jadi pusat perhatian orang, tidak mau mengalah, sampai-sampai guru yang lain kewalahan menyikapi perilakunya.”

“Masa Allah, sampai sebegitunya putriku. Padahal kalau di rumah penurut sekali.” Terkejut ibunya Stela menerima kabar itu dan tak menyangka putrinya sudah sedemikian rupa.

“Masa, Bu, saya baru tahu, kok pihak sekolah belum pernah mengirim kabar tentang putri saya?” Ibunya Stela bertanya.

“Sering, Bu, pihak sekolah memberi surat tapi tampaknya tak pernah sampai ke tangan Ibu.”

“Alhamdulillah, terima kasih sekali, Bu Sinta. Mungkin ini akibat saya juga yang selalu menutupi masalah. Saya pikir anak tidak usah tahu permasalahan orang tuanya, tetapi ternyata salah. Ya Allah, maafkan ibumu, Nak!” Tak terasa ibunya Stela menitikkan air mata.

“Ibu, ngapain Ibu ke sini?” Tiba-tiba Stela sudah berdiri di hadapan ibunya dan Bu Sinta.

”Nak, sudah bangun? Ayo duduk sini! Maafkan Ibu, ya. Selama ini Ibu salah, meski menurut ibu itu yang terbaik, tapi ternyata kamu tidak menerima. Maafkan Ibu, ya!” Ibunya Stela langsung berbicara supaya tidak berlarut-larut.

”Ayo, Stela duduk sini!” sambung Bu Sinta. ”Ya, tapi kenapa Ibu ada di sini?” sela Stela.

”Ibu yang menyuruh ibumu ke sini, Stela,” kata Bu Sinta lembut sekali.

”Oh.” Sejenak semua terdiam. Sambil menarik nafas, akhirnya ibunya Stela berbicara.

”Sebelumnya saya haturkan terima kasih pada Bu Sinta yang telah menerima anak saya, Stela, dan merepotkan Ibu.” Sambil melirik ke arah Bu Sinta, ibunya Stela melanjutkan pembicaraan langsung kepada putrinya Stela.

”Nak, sebenarnya Ibu ingin cerita tentang ayahmu kalau saatnya sudah tepat, tapi rupanya Ibu salah. Ternyata putri Ibu sudah tidak sabar menunggu sampai melibatkan gurumu. Tak apa, ini bisa dijadikan bahan pelajaran dan pengalaman buat semua. Ibu dulu menikah dengan ayahmu secara tulus dan ikhlas. Ibu mencintai ayahmu. Apa pun yang ayahmu minta pasti selalu diberikan, bahkan nyawa sekalipun pasti Ibu berikan. Namun, ternyata Ibu salah menilai tentang ayahmu. Semakin hari semakin Ibu lihat ayahmu berbeda. Ibu bekerja keras membanting tulang demi membantu ayahmu, tapi apa yang didapat Ibu, Nak? Ayahmu semakin jarang di rumah. Biasanya pulang di akhir pekan sudah tidak dilakukan dengan alasan sibuk. Semula Ibu mengira betul sibuk, tapi ternyata tidak, Nak. Ternyata ayahmu berselingkuh dan punya wanita idaman lain,” papar ibunya Stela sambil mulai menitikkan air mata.

Aku tidak boleh nangis di depan putriku, batin ibunya Stela sambil menghela nafas. Ia melanjutkan ceritanya, sementara Stela hanya diam mematung seolah baru tersadar betapa ibunya sangat menderita, tetapi tidak memperlihatkan penderitaannya. Ibunya sangat kuat dan tegar. Ya Allah, maafkan aku, batin Stela.

“Tahu tidak, Nak, kalau Ibu bertanya pada ayahmu jawabanya selalu membuat Ibu menangis. Dan yang paling menyakitkan ayahmu berkata, ‘Kenapa sih nanya-nanya terus, sudah tahu aku sibuk. Lagian kalau pulang ke rumah ini tuh seperti kuburan! Melihat kamu itu seperti syetan!’ Itulah kata-kata ayahmu yang sampai saat ini Ibu rasakan pedih, perih, Nak. Begitulah kalau laki-laki sudah tergoda oleh perempuan lain. Secantik dan seindah apa pun istrinya pasti selalu yang disalahkan. Nah, itu hanya sebagian cerita Ibu yang seharusnya tidak boleh diceritakan, karena itu aib keluarga kita, Nak. Sampai akhir cerita, Ibu akhirnya berpisah. Daripada Ibu disakiti terus oleh ayahmu lebih baik Ibu mengalah, Nak. Demi kebaikan bersama, walaupun anak yang jadi korban tetapi mudah-mudahan Stela mengerti dan tidak menjadi korban akibat perpisahan ini, Nak.”

“Ibu, maafkan Stela ya, Bu. Ayah tega sekali. Aku benci dia! Padahal selama ini aku ingin merasakan kasih sayang dari ayah. Aku benci!” Tangisan Stela pecah.

“Jangan menjadi benci, Nak. Bagaimanapun dia tetap ayahmu. Doakan saja yang terbaik buat ayahmu, ya,” kata ibunya Stela sambil mengelus rambut Stela.

Ah, betapa sakit yang dirasakan ibunya Stela. Apalagi ayahnya Stela telah memanfaatkan hasil jerih payah keringat ibunya Stela selama masih jadi suaminya. Kalau mengingat itu, semakin lama semakin benci setengah mati. Ibunya Stela membatin.

”Sudah ya, Nak, sekarang tahu kan kenapa Ibu selalu mengingatkan Stela jangan memikirkan ayahmu yang sudah bahagia di sana. Supaya Stela baik terhadap ayahmu. Ibu ingatkan jangan membenci ayahmu, walau bagaimanapun itu tetap ayahmu ya, Nak!”

Ya Allah, maafkan hambamu. Aku membohongi diri sendiri demi kebahagian putriku, padahal hatiku masih sakit sekali. Ibunya Stela membatin.

“Kalau begitu, Stela sekarang boleh menemui Ayah, Bu?” tanya Stela pada ibunya.

“Oh, iya boleh,” kata ibunya Stela walaupun hatinya bergejolak, “kuatkan aku, ya Allah!”

***