Cerpen
April 13, 2020
Cerpen : Bukit Pemangsa Manusia
Bukit (Foto : Didno) |
Sepenggal kenangan tak terlupakan dari Ekspedisi jalur kuno bersama komunitas peduli sejarah Ganapati Temanggung. Sabtu, 28 April 2018 setahun yang lalu. Cerita tentang kejayaan masa Hindu-Budha di Temanggung tidak sekedar cerita kosong belaka. Melalui penelusuran sejarah itu kami membuktikan sisa-sisa kejayaan yang terserak di berbagai daerah. Satu per satu dari berita yang telah ditulis atau dicatat oleh Verbeek maupun oleh Krom beberapa puluh tahun silam kami kunjungi.
Banyak informasi yang kami dapatkan melalui kegiatan penelusuran sejarah yang kami lakukan, jika dituliskan membutuhkan waktu lama dan berlembar-lembar kertas. Salah satu sisi cerita yang sangat menarik untuk diungkapkan kembali adalah tentang ‘bukit pemangsa manusia’. Mungkin hanya sebuah kisah yang dahulu begitu mencekam, namun sesungguhnya ada sesuatu di balik sebuah kisah.
Hari itu, tepat tengah hari beberapa orang pemerhati sejarah dari Jogjakarta berkunjung ke Dusun Candi, Desa Wonokerso, Kecamatan Tembarak. Tujuan awal adalah melakukan penelusuran sejarah, Menurut catatan Verbeek yang sempat mereka baca, di dusun tersebut terdapat beberapa situs. Berdasarkan letak astronomi yang di tulis Verbeek, situs berada di sebuah bukit. Namun, beberapa orang yang dijumpai mengatakan bahwa bukit di dusun itu tidak boleh diinjak, bahkan warga dusun tidak seorangpun yang berani mendatangi tempat itu. Jangankan masuk ke wilayah bukit, mendekatpun tidak berani. Informasi yang diterima dari warga menambah penasaran para pemerhati sejarah dari Jogjakarta itu, Sekali lagi kata warga yang dijumpai di ujung jalan dusun itu :
“Mas, kalau mau ke bukit itu wajib lapor ke sesepuh dusun terlebih dahulu,” kata seorang warga di dusun tersebut.
“Baiklah, Pak. Siapa sesepuh dusun yang bisa kami temui,” Reno bertanya penuh semangat.
“Nama beliau Pak Warsono, rumahnya itu Mas,” warga setengah baya itu menunjukkan sebuah rumah.
“Nanti bisa tanya anak-anak yang sedang bermain itu, Mas,”
“Oya, terima kasih Pak,”
Reno, Aqil, Hans, dan Bram segera menuju rumah sesepuh dusun, tidak menemui kesulitan karena waktu tengah hari hampir semua penduduk sudah berada di rumah. Mereka pulang dari sawah jika azan duhur sudah berkumandang. Begitu pula dengan Pak Warsono, beliau baru saja masuk rumah setelah melaksanakan ibadah salat duhur berjamaah di Masjid, Kebetulan rumah beliau memang dekat dengan masjid.
“Assalamualaikum …,” Aqil mengucapkan salam
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab tuan rumah.
“Minta maaf, Pak. Benarkah ini rumah Pak Warsono?” kata Aqil selanjutnya.
“Oh…iya. Betul, Monggo-monggo silahkan masuk,” kata Pak Warsono. Beliau menerima kami dengan senang hati.
Selanjutnya Reno, Aqil, Hans, dan Bram masuk ke dalam rumah dengan hati penuh harapan.
“Mohon maaf kami mengganggu istirahat siang bapak,” Hans memulai pembicaraan.
“Wah, tidak mengganggu Mas. Mas-mas ini dari mana ya, sepertinya bukan warga Desa Wonokerso,” kata Pak Warsono.
“Betul,Pak. Kami dari Jogjakarta, perwakilan dari komunitas sejarah. Sebelumnya saya perkenalkan, yang baju biru namanya Bram, kaos hitam, Reno. Yang paling ganteng Aqil, dan saya sendiri Hans,”
“Ya, Mas. Tujuan datang ke sini untuk apa, ada yang bisa saya bantu, Mas?”
“Begini, Pak. Kami berkunjung ke dusun ini yang pertama bersilaturahmi dengan bapak, yang kedua kami mendapat tugas untuk melakukan penelitian,”
“Penelitian tentang apa,Mas?”
“Tentang situs sejarah yang tersebar di dusun ini,”
“Wah, saya setuju sekali. Ada yang bisa saya bantu, Mas?”
“Begini,Pak. Menurut buku yang kami baca di bukit yang terdapat di dusun ini terdapat situs. Kami bermaksud mengunjungi situs tersebut,”
Ketika Hans mengutarakan niat untuk berkunjung ke situs yang ada di bukit yang terletak di sekitar dusun, wajah Pak Warsono berubah. Ada ketidaksukaan mendengar rencana itu. Hans melanjutkan pertanyaan:
“Apakah bapak bersedia mengantar kami ke sana? Oya apa nama bukit itu, Pak?”
“Kalau masalah ini panjang ceritanya,Mas. Mungkin yang Mas-mas sekalian maksud adalah bukit Kemejing. Letaknya di sebelah utara dusun ini,”
“Boleh kami mendengar cerita tersebut?”
Reno bertanya sambil kakinya menginjak kaki Aqil yang duduk di sebelahnya. Mereka saling berpandangan kemudian mengerdipkan mata. Entah apa yang ada di otak kedua remaja itu.
“Bukit Kemejing merupakan bukit yang sangat di jaga keberadaannya. Para leluhur kami melarang seluruh warga menginjakkan kaki di sana,”
“Kenapa, Pak?”
“Menurut cerita yang berkembang di masyarakat bahwa bukit Kemejing adalah bukit angker. Siapa saja yang nekad masuk ke wilayah tersebut maka tidak akan kembali,” Pak Warsono terlihat serius menjelaskan hal itu.
“Karena itulah kami melarang seluruh warga mendekati bukit itu, Mas. Kami khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya sebagai sesepuh dusun yang mendapat amanah wajib mengingatkan semua orang yang berniat datang ke sana,”
“Termasuk kami yang dari luar daerah juga dilarang, Pak?”
“Iya, Mas. Siapapun dilarang, hal ini demi keselamatan bersama. Bukit Kemejing ini di kenal warga sebagai bukit pemangsa manusia,” kata Pak Warsono.
“Bukit pemangsa manusia???” Hans dan teman-temannya kaget dan hampir bersamaan mengulangi kata bukit pemangsa manusia yang baru saja diucapkan Pak Warsono.
“Betul. Karena orang yang masuk ke wilayah bukit tersebut tidak akan kembali lagi,”
“Apakah itu benar-benar terjadi?” rasa penasaran melanda ke empat remaja dari Jogjakarta tersebut.
“Menurut leluhur kami, peristiwa itu benar terjadi, karena itulah kami melarang semua orang mendekati bukit. Termasuk orang-orang yang memiliki lahan di dekat bukit juga tidak berani memasuki wilayah bukit. Sampai dengan hari ini bukit Kemejing masih perawan,”
“Apakah, para leluhur juga memberikan syarat lain untuk bisa masuk wilayah bukit?
“Ya, Mas. Ada perkecualian,”
“Apa itu,Pak?”
“Hanya keturunan Sultan Jogjakarta, keluarga, maupun orang utusan sultan saja yang bisa memasuki wilayah tersebut,”
“Mengapa begitu,Pak?”
“Harus izin dahulu kepada Sultan,”
“Ooooooo….,”
Hans dan ketiga temannya merasakan ada peluang suatu hari nanti untuk berkunjung kembali ke dusun ini.
“Cerita yang sangat bagus sekaligus mencekam membayangkan kejadian manusia menghilang di bukit. Semoga ini hanya mitos saja,” kata Hans.
“Kami merasa berterima kasih sudah mendapatkan banyak informasi, berhubung waktu telah beranjak sore kami mohon pamit, maaf sudah mengganggu waktu bapak,”
“Tidak apa-apa, Mas. Banyak kog orang yang datang sekedar bertanya tentang cerita bukit Kemejing ini. Silahkan di minum dahulu, Mas,”
Akhirnya setelah menikmati kopi robusta asli produksi dusun ini dan ketela rebus hangat yang empuk dan nyus Hans dan temannya berpamitan. Mereka terlihat buru-buru melanjutkan perjalanan untuk pulang kembali ke Jogjakarta. Mereka sepakat untuk menunaikan salat Magrib di Masjid Agung Darussalam Kota Temanggung dan makan malam di sekitar masjid. Mereka memilih salah satu rumah makan yang cukup terkenal di kota ini. Di tempat itulah mereka berdiskusi tentang rencana selanjutnya.
Rencana besar yang menjadi target adalah menguak dan mematahkan mitos tentang bukit pemangsa manusia. Anak-anak muda yang gemar berpetualang dan senang melakukan penjelajahan jalur kuno tersebut yakin bahwa di bukit tersebut ada hal penting yang disembunyikan. Pasti ada kesengajaan menciptakan misteri ataupun mitos agar benda atau apapun yang terdapat di bukit terjaga keberadaannya. Mereka pun yakin bahwa sumber sejarah yang sudah di tulis oleh Verbeek tidak mungkin salah, pasti ada benda bersejarah di tempat itu. Sempat hening, ke empat pemuda itu larut dalam pikiran masing-masing. Bram memecah keheningan dengan ide cemerlangnya:
"Ahai...aku punya ide brilian," seru Bram yang sempat mengagetkan teman-temannya.
"Ide apa tuh?" tanya Reno dengan sedikit mengernyitkan keningnya.
"Bagaimana kalau kita bulan depan datang lagi ke dusun Candi?"
"Itu mah bukan ide brilian bro!"
"Sebentar belum selesai ngomong, jangan dipotong donk," jawab Bram sedikit kesal.
"Ok, cepat utarakan idemu kawan," kata Hans sambil bercanda.
"Tadi Pak Warsono mengatakan bahwa ada perkecualian untuk mereka yang boleh masuk wilayah bukit. Nah, syaratnya khan izin Sultan atau bersama keluarga keraton. Nah, ideku salah satu diantara kita berdandan ala prajurit keraton, kemudian kita datang lagi ke dusun itu,"
"Bohong donk," kata Aqil kurang setuju.
"Bukan berbohong, ini hanya cara untuk mendapat izin sesepuh dusun agar kita dapat masuk ke wilayah bukit,"
"Saya sebenarnya kurang setuju, namun satu-satunya cara termudah memang jalan seperti ide Bram," Reno menberikan pendapat selanjutnya ia mengatakan:
"Terus di antara kita, siapa yang akan berpakaian prajurit keraton? Yah, minimal memakai kain dan baju lurik, jangan lupa memakai blangkon"
"Paling cocok Aqil, karena wajahnya layak jadi keluarga keraton. Hehehe…,"
Bram setengah bercanda, tapi penampilan yang paling santun dan luwes ada pada diri Aqil sehingga sangat cocok. Akhirnya mereka pun menyetujui ide Bram.
"Kalau sudah setuju semua, terus kapan waktu yang tepat untuk datang kembali ke dusun tersebut?"
"Menurut saya paling cepat bulan depan, biar tidak dikenali lagi oleh warga. Kalau perlu kita ajak Goen jadi minimal kita berlima,"
"Setuju." kata Bram dan teman-temannya hampir bersamaan.
Setelah menghabiskan menu makan malam mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Jogjakarta kembali dengan senyum penuh harapan.
Satu bulan kemudian....
"Assalamualaikum...thok...thok...thok...," Bram mengetuk pintu kamar kost Aqil.
"Waalaikumsalam, masuk saja Bram," sahut Aqil dari dalam kamar. Aqil sedang mencoba seperangkat pakaian yang dipinjamnya dari Putri. Kebetulan mamanya Putri seorang perias penganten jadi beliau memiliki pakaian yang dibutuhkan oleh Aqil.
"Wao...kerennnnn, cocok sekali!" kata bram ketika melihat sahabatnya itu sudah berdandan seperti keluarga keraton.
"Hahaha.....jam berapa kita cabut dari sini?"
"Setengah jam lagi, kita nunggu Reno. Kali ini yang bawa mobil Reno, sebab mobil Hans sedang ada di bengkel,"
Baru saja selesai bicara, mobil Reno sudah sampai di depan rumah kost Aqil. Bram dan Aqil bersiap-siap dan langsung cabut menuju Temanggung. Di dalam mobil ada Reno, Hans, dan Goen.
Sepanjang perjalanan mereka asyik berdiskusi dan tentu saja berdoa agar penyamaran mereka tidak terungkap. Mereka juga sepakat untuk menyampaikan salam dari Aqil yang hari itu tidak dapat hadir karena sedang ada urusan di luar kota. Sementara sosok yang diperankan Aqil bernama Rahardjo, seorang abdi keraton.
Dua jam perjalanan sampailah mereka di dusun Candi, mereka langsung menuju runah Pak Warsono. Alhamdulillah, Pak Warsono ada di rumah. Beliau dengan senang hati menyambut kedatangan Reno dan teman-temannya. Setelah memperkenalkan salah satu abdi keraton yang bersama mereka Pak Warsono mempercayainya. Tidak butuh waktu lama rombongan dari Jogjakarta itu di antar oleh Pak Warsono menuju bukit pemangsa manusia. Tidak lupa Pak Warsono membawa sabit, sebab jalan setapak menuju bukit tersebut tertutup ilalang. Rumput ilalang yang dibiarkan itu tumbuh subur hingga ketinggiannya mencapai hampir satu meter.
"Bismillah, semoga Allah melindungi kita semua. Selamat dan bisa pulang kembali ke rumah," kata Pak Warsono setelah sampai di ujung jalan setapak menuju bukit Kemejing. Bukit yang diberi julukan oleh warga sebagai bukit pemangsa manusia.
"Hari ini merupakan hari yang bersejarah karena untuk yang pertama kali kami menginjakkan kaki di bukit Kemejing,"
Reno dan teman-temannya, jujur agak takut masuk ke wilayah itu, bukan karena mitos yang berkembang di masyarakat tapi takut ada binatang buas seperti ular yang bersembunyi di tempat itu. Bukankah puluhan tahun tempat ini tidak dijamah manusia? Keyakinan akan situs sejarah sebagaimana di tulis Verbeek menjadikan mereka bersemangat dan tidak takut dengan apapun.
"Mari kita masuk," ajak Pak Warsono sambil membersihkan ilalang yang menghalangi jalan mereka.
"Benar-benar tempat ini angker," kata Bram setengah berbisik.
"Bukan angker, tapi tempat yang masih perawan. Terjaga betul aneka ragam flora fauna di tempat ini,"
"Iya ya, tuh ada suara burung yang belum pernah kita dengar di kota. Asri sekali," tandas Hans.
"Masih jauh,Pak?" tanya Reno kepada Pak Warsono.
"Tidak, Mas. Kita jalan lurus saja nanti akan sampai di atas bukit. Tempatnya memang tersembunyi di antara pepohonan itu,"
"Baiklah, semoga apa yang di tulis oleh Verbeek ini benar-benar ada,"
"Semoga saja, ya"
"Insyaallah tidak sia-sia perjalanan kita," kata Pak Rahardjo.
"Tentu tidak, pengalaman saya menelusuri tulisan Verbeek selalu tepat keberadaannya, permasalahannya benda yang di tulis itu yang kadang nenghilang beberapa, atau kadang berpindah tempat," kata Goen menjelaskan pengalaman menelusuri benda-benda kuno bersejarah yang tersebar di Indonesia.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 25 menit sampailah mereka di tempat yang mereka cari.
"Alhamdulillah kita sampai juga di tempat ini, "
"Nih, lihat ada beberapa batu yang berserakan. Sepertinya bantu candi," sorak Bram kegirangan.
"Inilah bukti mengapa beberapa orang yang tidak bertanggungjawab sengaja menciptakan mitos tersebut,"
"Apa tujuan mereka menciptakan mitos itu Goen?"
"Menurut pendapat saya benda-benda purbakala yang di tulis Verbeek di tempat ini sudah banyak yang lenyap. Permasalahannya bagaimana cara pencuri membawa benda-benda ini keluar dari desa,?"
"Nah, mari saya tunjukkan jalan untuk keluar dengan aman dari tempat ini," kata Pak Warsono sambil menyusuri jalan setapak menuju ke suatu tempat. Jalan setapak yang menuruni lereng bukit. Dan ahaiiiii.....
"Lihat! Ada sungai di bawah sana,"
"Wao....di seberang sungai sudah ada jalan raya,"
"Nah, inilah rahasia mitos bukit pemangsa manusia. Para pencuri benda-benda purbakala ini sengaja menciptakan mitos agar warga masyarakat tidak mendatangi tempat ini,"
"Betul sekali analisamu Goen, saya setuju, ada kemungkinan dan dapat dipastikan para pencuri membawa hasil curian melalui jalan ini, kemudian dengan mudah membawa hasil curian keluar dari desa. Mobil pasti sudah menunggu mereka di seberang sungai,"kata Reno.
"Sepertinya jalan inilah yang sering digunakan pencuri membawa benda-benda purbakala ke luar daerah, terima kasih atas keberanian Mas Bram dan kawan-kawan serta kepedulian kalian pada benda-benda sejarah," kata Pak Warsono.
"Besuk pagi saya akan menggerakkan seluruh warga untuk membersihlan tempat ini,"
"Bagus sekali, Pak. Kerja kita berhasil. Kita selamatkan beberapa benda purbakala ini,"
"Siapa yang akan melestarikan bebda-benda bersejarah ini, jika tidak kita sendiri?"
"Perlu keberanian untuk mendatangi tempat ini, berbagai macam cara beberapa teman mencoba mendatangi bukit Kemejing. Terima kasih, bapak sudah membantu kami dalam penelitian menguak benda purbakala di Dusun Candi. Meskipun beberapa benda sudah berpindah tempat, setidaknya mulai hari ini semua warga wajib menjaga kelestarian benda-benda bersejarah di wilayah ini," kata Goen yang beberapa waktu sebelumnya pernah mencoba naik ke bukit Kemejing, namun urung dilakukan karena warga melarangnya.
"Kami juga mengucapkan banyak terima kasih, Pak Warsono sudah ikut menjaga cagar budaya yang ada di dusun ini," kata Bram melanjutkan perbincangan itu. Kemudian ia juga mengatakan:
"Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Pak Warsono, kami terpaksa berbohong telah membawa abdi dalem Sultan Jogjakarta. Sebenarnya pak Rahardjo itu Aqil, Pak."
Serempak mereka tertawa, Pak Warsono pun ikut tertawa. Aqil kemudian melepas blangkon dan kumis buatan sambil tertawa dan mengacungkan tangannya memberi isyarat permohonan maaf kepada Pak Warsono. Mereka berpelukan, dan tertawa geli mengingat penampilan Aqil yang kerepotan memakai sandal slop dan harus berjalan menaiki bukit. Rasa plong memenuhi dada para remaja itu, senyum yang penuh makna.
"Ya, tidak mengapa. Mungkin hanya itu yang bisa kalian lakukan,"
"Betul, Pak. Penyamaran ini berhasil menguak dan mematahkan mitos tentang bukit pemangsa manusia,"
"Para pencuri yang licik, mereka datang kemudian mencuri benda purbakala selanjutnya mereka menghilang menyusuri jalan di balik bukit. Yach....karena mereka pergi melalui jalan lain ya pasti tidak akan kembali ke dusun ini lagi," kata Pak Warsono sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Matahari sudah hampir di atas kepala, mari kita meninggalkan tempat ini,"
Akhirnya dengan perasaan puas mereka kembali menuju rumah Pak Warsono, selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Jogjakarta. Sementara itu, selepas salat duhur Pak Warsono mengumumkan kepada seluruh warga dusun Candi, besuk pagi untuk kerja bakti membersihkan lokasi cagar budaya yang masih tersisa di atas bukit. Sejak itu, tidak ada lagi rasa takut untuk masuk wilayah bukit Kemejing. Tak ada lagi kekhawatiran mendatangi bukit tersebut, dan ternyata bukit pemangsa manusia yang ramai diperbincangkan warga setempat hanyalah mitos. Mitos yang sengaja diciptakan untuk suatu tujuan.
*Cerpen ini telah diterbitkan dalam buku Meraih Asa Menggapai Cita