FLASHNEWS

Cerpen : Separuh Jiwaku di Tepi Pantai

Oleh Ibu Rini dari Sukoharjo

Byurrrrrrr……….

Anak-anak  kecil tanpa beban itu menjatuhkan tubuhnya ke pantai berguling-guling bermain dengan ombak. Mereka belum menyadari kelak ketika dewasa menceburkan diri ke laut artinya adalah sebuah perjuangan, mencari nafkah, bahkan pertaruhan nyawa. Surya yang paling bandel mengambil kepiting kecil dan menggelitik punggung teman-temannyanya membuat mereka lari sekencang-kencangnya. Tapi itu membuat Surya malah semakin mengejar dan mengacungkan–ngacungkan kepiting kecil  itu sambil tertawa dan menjulur-julurkan lidahnya.


Di sudut pantai yang lain Santi bermain pasir bersama Mayang adiknya. Keceriaan anak-anak itu disaksikan pula oleh Lik Kus, ayah Santi dan Mayang. Dadanya begitu sesak mengingat perbincangannya dengan Pak Syafi’i dan Bu Lintang seminggu yang lalu.


(Seminggu yang lalu)
“Pak Kus kita sudah dua tahun mengenal sudah seperti keluarga, bagaimana kalau sesama keluarga kita saling membantu Pak? ”Pak Syafi’i membuka percakapan.

“Saling membantu seperti apa yang Pak Syafi’i maksud?”  Lik Kus menanggapi.

“Sejak pertemuan dua tahun lalu ketika istri saya jatuh di penginapan dan ditolong oleh istri Pak Kus, sejak itu kami berjanji akan menjadikan Pak Kus sebagai keluarga. Kami tahu betapa repotnya Pak Kus dan Bu Pur  mengurus  4 anak, dan sekarang 5 anak, untuk itu izinkan kami membawa salah satu anak Pak Kus dan Bu Pur untuk kami sekolahkan di kota. Status tetap anak Pak Kus dan Bu Pur  tapi kami yang akan membiayai pendidikan dan keperluannya. Bapak tahu kan 15 tahun pernikahan kami belum dikaruniai seorang anakpun karena ……” Pak Syafi’I tak kuasa melanjutkan perkataannya karena harus menjaga perasaan istrinya.

Pak Kus tersentak dengan permintaan itu, di satu sisi memang berat menghidupi 5 anak  yang semua butuh biaya. Supri kelas 1 SMA, Dwi kelas 2 SMP, Santi kelas 6 SD, Mayang kelas 2 SD, ditambah lagi Si kecil Ragil yang baru berusia 6 bulan, tapi tetap saja tidak mudah melepaskan salah satu anaknya kepada orang lain meskipun dengan jaminan kasih sayang dan materi berkecukupan. Di sisi lain dia juga tidak enak hati untuk menolak permintaan Pak Syafi’i karena Bu Lintang sangant menginginkan seorang anak, meskipun bukan anak kandung, apalagi setelah kejadian Lik Pur menolong Bu Lintang  suami istri itu setiap bulan selalu mengirim uang untuk membantu kebutukan keluarga Lik Kus. Bu Lintang duduk terdiam berharap jawaban iya, sementara di dekat pintu Lik Pur menggendong  Ragil dengan menahan perih dan air mata. Ya Ragil, anak itu diberi nama Ragil dengan harapan itu adalah anak terakhir mereka.

Deburan ombak memecah lamunan Lik Kus. Dia memutuskan menemui Pakdhe Tulus, Ketua RT yang juga masih ada hubungan saudara dengan Lik Kus. Dia menceritakan kegundahan  hatinya dan minta pertimbangan keputusan apa yang harus diambil.

“Lik, memang pasti berat melepas anak, tapi kita tahu kalau Pak Syafi’i dan Bu Lintang orang yang baik. Pembangunan masjid dan renovasi sekolah mereka banyak membantu, belum lagi bantuan khusus untuk keluargamu Lik. Mungkin ini rezeki Santi.  Siapa tahu ini jalannya Santi jadi orang sukses. Percayalah mungkin Gusti Allah memang mempertemukan kalian untuk saling membantu”.  Saran Pakdhe Tulus.

Jlebbbb, kata –kata itu memang terdengar bijaksana  tapi sejujurnya menusuk-nusuk hati Lik Kus, Pak Syafi,i membantu materi, sedangkan dia harus membantu mereka memiliki keturunan dengan cara menyerahkan salah satu anakanya.

“Baiklah, aku akan bicara dengan semua” . Hanya itu yang dikatakan Lik Kus yang akhirnya bangkit dari duduknya dan meninggalkan Pakdhe Tulus.

Malam hari setelah Lik Kus dan Lik Pur mengambil keputusan akhirnya dibicarakan dengan Pak Syafi’i , Bu Lintang  dan kelima anaknya. Tentunya Ragil satu-satunya yang belum mengerti  isi pembicaraan penting itu. Bahwa dia tidak akan digendong, disuapi, dimandikan lagi oleh Mbak Santi. Santi hanya duduk terdiam tak tahu apa yang harus dikatakan. Menurut, itu yang harus dilakukan. Santi lah yang diplih karena  dia kelas 6 dan akan disekolahkan di kota.Supri dan Dwi anak laki-laki yang harus membantu orang tua, sedangkan Mayang dan Ragil masih berat tentunya  untuk berpisah dari orang tuanya.

Liburan sekolah hampir usai, Pak Syafi’i mengajak anak-anak Lik Kus  kecuali Ragil ke kota di rumahnya. Mereka sangat kagum dengan kondisi kota yang ramai, banyak kendaraan, gedung-gedung bertingkat yang selama ini hanya mereka dengar dari cerita. Kebetulan ulang tahun Santi yang ke-13 mereka diajak makan-makan di rumah makan padang milik Pak Syafi’i, makan roti aneka rasa milik toko Bu Lintang yang terkenal di kota itu. Diajak berenang di waterboom meskipun mereka biasa berenang di pantai tapi berenang di tempat berbeda membuat mereka merasakan sensasi yang berbeda juga, CFD di dekat taman kota, nonton film di mall. Mereka benar-benar dimanjakan.

Dua hari sebelum libur usai Pak Syafi’i mengantar ketiga saudara Santi kembali ke kampungnya di tepi pantai. Dengan membawa masakan padang, aneka roti, baju baru maupun perlengkapan anak kecil untuk Ragil. Santi  memandangi mobil yang membawa mereka sampai tak terlihat.  Tiba-tiba saja air matanya menetes, terasa hampa, merasa sendiri. Tak tahu kapan akan bertemu mereka kembali,.

Bu Lintang mengajak Santi masuk tapi Santi malah terisak dan spontan Bu Lintang memeluknya.
“Mama tahu Santi sedih, tapi kalau liburan kita akan kesana ya, mama dan papa menyayangimu sejak dulu sebelum membawamu kesini” Hibur Bu Lintang dan mengelus-elus kepalanya.

Santi memang sudah didaftarkan di SMP yang lokasinya tidak jauh dari rumah Pak Syafi’i karena itu permintaan Santi. Mereka memang sudah dekat ketika sering berlibur di pantai itu.

Hari pertama masuk sekolah Santi diantar oleh Bu Lintang. Penampilan Santi yang polos, lugu dan selalu menunduk membuat banyak siswa yang tidak terlalu mempedulikan keberadaanya. Dalam hati Santi pun meraskan ketidaknyamanan, lebih enak teman-teman di pesisir. Di sekolah ini teman-temannya bersih, rapi, cantik, tampan, ada yang berkulit putih mata sipit, juga yang manis berhidung mancung. Santi merasa minder.

Pembagian kelas nama Santi Tri Hastuti masuk di kelas VII D. Saat pemilihan Ketua kelas Bastian yang terpilih. Anaknya bersuara lantang, posturnya tinggi meskipun badannya  tidak terlalu berisi. Santi satu tempat duduk dengan Salwa. Anaknya baik dan ramah, hanya kepada Salwa dia bisa bisa menceritakan perasannya.

Pak Syafi’i dan Bu Lintang sangat menyayanginya, tapi mereka sangat sibuk, aku sering kesepian, lihat kolam renang ingat pantai, dan di sekolah hampir tidak ada yang mengajaknya bicara karena Santi sangat pemalu dan minder.

Bastian sang ketua kelas merasa jengkel dengan Santi karena susah diajak komunikasi dan lebih sering diam. Dia sering mengolok-olok Santi dengan berbagai sebutan putri es doger, bunga krokot, bungkus kelapa bungkus kelapa bungkus kelapa (sepet), tapi yang paling menyakitkan adalah panggilan upik abu ngaku-ngaku anak pengusaha. Nilai ulangannya hancur karena tidak bisa konsentrasi. Dan dia tidak berani bercerita kepada Bu Lintang dan Pak Syafi’i. Dia hanya berani bercerita kepada Salwa. Ingin rasanya Santi berteriak aku ingin pulang ke tempat dimana aku berasal.

Hari ini jam pertama akan ada ulangan Bahasa Indonesia, Bu Lidya meminta Bastian mengumpulkan buku milik teman-temannya ke depan kelas. Bastian melaksanakan perintah Bu Lidya.

“Putri es doger anak pungutnya orang padang sini bukumu” Bastian menarik buku Santi dengan kasar.
“Udang tetap saja udang, sok-sokan belajar ngarep ya dapat nilai 100”. Lanjutnya sambil berlalu.
Tiba-tiba gubraaakkkkkk……

Santi menggebrak meja, menonjok muka Bastian sampai  hidungnya  berdarah, bukan hanya itu dia juga menjambak rambut Bastian berkali-kali membuatnya mengerang kesakitan dan semua buku yang dia bawa terjatuh ke lantai.

“ Sudah cukup!! Belum puas kau selama ini menghinaku ketua biadap!!!!” Santi berteriak membuat teman-teman satu kelas terperanjat  tak percaya kalau Santi bisa mengamuk seganas itu. Begitu juga dengan Bu Lidya. Entah energi darimana yang mebuat Santi menjadi meledak-ledak. Bastian ingin membalas tapi ditahan  oleh Naufal dan David. Kamu laki-laki broo jangan main pukul perempuan.
Akhirnya Bu Lidya membawa Bastian dan Santi ke ruang BK. Ulangan ditunda. Antara senang tidak jadi ulangan dan shock yang dialami anak-anak VIID saat itu. Pak Indra wali kelas  VII D yang sedang mengajar di kls VII F pun didatangkan ke ruang BK. Mereka berdua hanya diam dan sesekali  saling memandang penuh kebencian. Hanya mata mereka yang bicara. Akhirnya Guru BK menelepon orang tua Santi dan Bastian untuk hadir di sekolah saat itu juga.

Pak Syafi’i dan Bu Zulfa ibunya Bastian datang ke sekolah dengan rasa penasaran dan khawatir.

“Hidungmu kenapa diplester Tian?” Tanya Bu Zulfa dengan Panik.
Guru BK menceritakan kejadian yang sebelumnya diinformasikan oleh Bu Lidya. Santi dan Bastian berebut bicara membela diri. Akhirnya Pak Indra meminta guru BK menyelesaikan masalah ini,dan Pak Indra pamit menuju kelas VII D. Beliau minta izin kepada Bu Lidya untuk bicara dengan semua anak yang menjadi tanggung jawabnya itu.

“Bapak kecewa, juga merasa bersalah. Selama ini ada kejadian pembulian dan kalian tidak ada yang melapor. Satu kelas ini adalah keluarga, kenapa kalian begitu membedakan Santi? Apa salahnya pada kalian? Bapak juga merasa kecolongan tidak memperhatikan dari awal ketidakberesan ini”

“Santi itu sombang Pak, ngeselin, sok suci gak mau gabung kita-kita” salah seorang menimpali Pak Indra.

“Tidak Pak. Santi bukan orang yang seperti itu. Dia minder, dia merasa hanya anak yang dibiayai keluarga kaya, hanya anak dari pesisir, belum lagi ejekan Bastian dan teman-temannya dengan macam-macam kata-kata jelek itu Pak. Santi itu sedih gak berani cerita ke orang tuanya. Nglihat teman-teman dia takut, makanya menunduk. Dia juga pengen normal-normal saja seperti yang lain Pak…” Salwa memberanikan diri menceritakan yang sebenarnya, dan pada akhirnya dia terisak tapi juga lega.

“Kalian dengar itu? ”. Pak Indra meninggikan suara.

“Yang dilakukan Santi memang tidak benar, tapi yang dilakukan Bastian juga salah. Malah bagus Santi akhirnya berani melawan. Pernah ada kejadian pembulian di suatu sekolah, anaknya depresi lalu bunuh diri,siapa pembunuhnya? Ya berarti si pembully itulah pembunuhnya. Kalian mau ikut-ikutan seperti itu?!”
Hening… semua terdiam.

Bel istirahat pertama berbunyi, semua siswa kelas VII D (selain Bastian) mendekati Santi saat mengambil tas dan meminta maaf atas sikap mereka  dan menguatkannya.  Untuk hari ini Santi dan Bastian diizinkan pulang lebih awal.

Bu Lintang menangis sesenggukan mendengar apa yang baru saja terjadi pada Santi.
“Santi mulai besok Santi pindah sekolah saja ya? Atau kembali sekolah di kampung saja gimana San? Yang penting Santi nggak kenapa-napa” Ujar Bu Lintang sambil terus menangis memeluk Santi.

“Tidak! Santi akan tetap di sini” Kata Pak Syafi’i.

“Kami membawamu kesini untuk menjadi orang sukses Santi, apa Santi mau mengecewakan orang tuamu di sana? Santi ingat di laut pasti ada ombak. Anggap saja yang Santi alami sekarang adalah hantaman ombak besar. Tapi apa Santi akan berhenti, atau malah melarikan diri? Kalau Santi mundur dia akan bangga, tertawa penuh kemenangan. Bagus hari ini Santi berani melawan, tapi caramu tadi itu berbahaya Santi…”. Pak Syafi’i dengan ketegasannya tidak setuju dengan Bu Lintang.

Santi tertunduk air matanya berhenti tanpa dikomando.

“Aku tidak boleh cengeng, harus kuat, tidak boleh diinjak-injak lagi” Gumannya dalam hati.

Keesokan harinya Santi mencoba tersenyum dan menyapa teman-temannya, hal yang sebaliknya  juga terjadi. Perlahan-lahan Santi mulai ngobrol dengan teman selain Salwa, ikut organisasi PMR, penampilannyapun mulai terawat, terlihat lebih bersih, tidak terlalu lugu lagi seperti di awal kedatangannya. Perlahan-lahan banyak hal  berubah dari diri Santi.

Sampai waktu kelulusan Santi telah menjalani hari-hari secara normal dan prestasinya juga tidak mengecewakan. Satu hal yang belum berubah, Santi dan Bastian tetap tidak saling bicara meskipun hanya sekedar bertegur sapa, sejak kejadian itu sampai waktu mereka harus berpisah karena kelulusan.
*********

(13 tahun kemudian di tepi  pantai)
Santi bermain pasir bersama putri kecilnya yang diberi nama Ambar, yang diambil dari nama belakang Bu Lintang Ambarsari. Sebagai penghormatan dan rasa sayang kepada wanita yang telah menyayanginya sepenuh hati, yang telah kembali kepada Illahi saat Santi  kuliah semester 2  di Fakultas Ekonomi.
Mulai saat itu Santi benar-benar harus terjun dalam dunia bisnis karena harus menghandel toko roti yang ditinggalkan bu Lintang. Ikatan batin semakin kuat antara Santi dan Pak Syafi’i dan beliau berharap semoga setelah lulus kuliah Santi bisa segera berkeluarga karena hanya Santi yang dia miliki saat ini. Sewaktu-waktu terjadi apapun kepadanya sudah ada yang melindungi Santi.

Bersama mereka di pantai juga ada ketiga anak Mas Supri, dua anak mas Dwi,  dan juga  Ragil yang beranjak remaja. Mayang kuliah di kota yang dibiayai oleh Santi.

“Papaaaa….” Dengan girangnya  Ambar berlari menyambut kedatangan Bastian, sang papa langsung menggendong putri kecilnya.

Jalan hidup orang tidak ada yang tahu, Santi gadis dari kampung pesisir  tumbuh besar dan berpendidikan di kota. Santi pun juga tidak menduga kalau pendamping hidupnya  adalah Bastian. Orang yang pernah diamuk olehnya sewaktu SMP.

Mereka bertemu kembali setelah lulus kuliah, sekolah mengadakan reuni tiga angkatan. Santi dan Bastian berpapasan, sama-sama terkejut tapi akhirnya Bastian mengulurkan tangannya mengajak bersalaman, mereka tersenyum  kecil dan akhirnya tertawa terpingka-pingkal mengingat kekonyolan mereka sewaktu SMP. Mereka saling bercerita tanpa canggung seolah-olah tidak pernah terjadi perang dingin selama 3 tahun di sekolah dan kelas yang sama.

Sering berkomunikasi membuat mereka semakin dekat dan nyaman hingga akhirnya merencanakan hubungan yang lebih serius. Tentu saja bukannya tanpa hambatan, penolakan terjadi dari kedua belah pihak orang tua. Pak Syafi’i tidak ingin Santi disakiti lagi oleh Bastian, orang tua Bastian juga tidak mau punya menantu yang bisa saja bersikap brutal kepada anak apalagi cucunya nanti. Untunglah dukungan penuh datang dari Yasmin adik Bastian yang sudah merasa klop dengan Santi. Mereka saling mengenal karena Yasmin adalah adik tingkat Santi sewaktu kuliah.Setelah melalui berbagi liku-liku, akhirnya mendapatkan restu dari keluarga masing-masing. Mungkin benar yang dikatakan orang Jawa dengan istilah “gething nyandhing”.

“Mbak harus pulang sekarang , jaga bapak dan ibu baik-baik ya Dek…”

“ Iya Mbak hati-hati, salam untuk Mbak Mayang” balas Ragil.
Setelah berpamitan pada Ragil dan keponakan-keponakannya Santi dan Bastian menggandeng tangan Ambar yang berada di tengah. Sebelum pergi Santi menoleh ke arah pantai, “ Separuh jiwaku ada di sini,suatu saat aku ingin kembali, dengan membawa cerita yang entah apa aku juga belum tahu……”